Bloomberg Technoz, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat telah menyebarkan draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang tengah dibahas bersama pemerintah dan masyarakat. Salah satu aturan mendapat sorotan yaitu draf Pasal 77 KUHAP tentang mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice.
Dalam draf revisi, DPR nampak menghapus beberapa pidana dari daftar tindak pidana yang bisa diselesaikan di luar peradilan atau restorative justice yang ada pada KUHAP saat ini. Tindak pidana yang hilang dari Pasal 77 tersebut antara lain tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus; serta tindak pidana keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Imbasnya, orang-orang yang dituduh dengan pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dipastikan harus menjalani proses pidana hingga hukuman penjara. KUHAP ke depannya tak memberi ruang penyelesaian kasus tersebut di luar persidangan.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mengklaim terdapat kesalahan redaksional dalam draf KUHAP yang tersebar di masyarakat. Dia pun memastikan, tindak pidana penghinaan presiden dan wapres tetap masuk dalam Pasal 77 KUHAP atau dapat diselesaikan di luar persidangan.
"Jadi memang perlu kita jelaskan, pasal penghinaan presiden adalah variannya pasal yang mengatur tentang tindak pidana dengan cara ujaran. Kalau ujaran ini kan apalagi yang disampaikan misalnya dengan spontan dan lisan pastilah multi interpretatif," kata Habiburokhman dikutip, Senin (24/03/2025).
"Seseorang ngomong A bisa diartikan B, bahayanya kalau diartikan itu sebagai pelanggaran hukum penghinaan presiden. Karena itu harus bisa ditempuh dengan mekanisme restorative justice dan itu sudah ada di pasal 77 dia tidak dikecualikan."
Politikus Partai Gerindra tersebut bahkan mengklaim DPR mendorong agar seluruh kasus penghinaan presiden harus diutamakan melalui mekanisme restorative justice sebelum penegakan hukum pidana. Dia menilai, tuduhan kasus ujaran kebencian terhadap pemimpin negara lebih dulu harus diselesaikan melalui mekanisme dialog dan mediasi.
"Jadi bahkan kita nanti kalau bisa kita dorong pasal seperti itu enggak bisa langsung ke penegakan hukum. Bahkan kita bisa lebih progresif lagi harus melalui, jadi bukan hanya pilihan, bukan hanya bisa, tetapi harus melalui RJ [restorative justice]," kata Habiburokhman.
Dia pun mengklaim sengaja menyebar draf revisi KUHAP kepada masyarakat agar terus mendapat masukkan dan koreksi. Sehingga, kata dia, KUHAP baru dapat benar-benar memenuhi kebutuhan penegakan hukum di Indonesia. Dia pun mengatakan, sudah memiliki banyak agenda untuk mendengarkan masukkan dari kelompok masyarakat dan akademisi soal revisi beleid tersebut.
Kami ke depan terus akan mengagendakan acara-acara seperti mengundang ahli, mengundang guru-guru besar, mengundang praktisi, bahkan kami juga akan mengundang seluruh pimpinan redaksi media massa dalam forum khusus, supaya teman-teman juga berkontribusi aktif bukan hanya memberitakan tapi menyampaikan masukan," ujar dia.
(azr/frg)