Logo Bloomberg Technoz

“Misalnya, dalam pasal akhir PP tersebut ditambahkan, waktu keberlakuan PP ini atau keberlakuan ketentuan tertentu diatur lebih lanjut atau ditetapkan oleh Menteri [ESDM],” ujarnya. 

Penerimaan negara tak sebanding 

Di sisi lain, Bisman berpandangan tambahan penerimaan negara yang akan didapatkan dari kenaikan royalti tidak akan sebanding dengan dampak dan risiko yang akan ditanggung kalangan penambang. 

Risiko itu memungkinkan sebagian pelaku usaha akan menurunkan produksi bahkan bisa berhenti operasi. Artinya, jika kondisi itu terjadi justru tidak baik bagi perekonomian di Tanah Air. 

Bagaimanapun, Bisman mendukung langkah pemerintah untuk meningkatkan sumber pendapatan dari sektor pertambangan maupun energi. Akan tetapi, tidak dengan cara menaikkan royalti saat ini.

“Upaya itu bisa dengan memperbaiki tata kelola, memberantas illegal mining dan menutup kebocoran yang mungkin terjadi,” jelas Bisman. 

Jika PP tetap ngotot menaikkan tarif royalti, mau tidak mau penambang harus menjalankan dan menyesuaikan dari aspek operasional, mengambil langkah efisiensi dan menghitung ulang rencana investasi, serta pengembangan usaha. 

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengamini bahwa pemerintah saat ini tengah merampungkan revisi PP tarif royalti tersebut. Dia pun menuturkan saat ini pemerintah masih menunggu PP itu rampung sebelum dapat menyampaikan target PNBP yang akan didapatkan dari regulasi tersebut.

“Ya, tunggu PP, targetnya [PNBP] sudah ada, cuma kita tunggu PP-nya karena ada perubahan sedikit,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (21/3/2025).

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya memastikan progres PP untuk besaran tarif royalti minerba yang baru tersebut sudah hampir final. Akan tetapi, dia tidak mendetailkan kapan beleid tersebut akan disahkan dan mulai diberlakukan.

Menurut Bahlil, besaran kenaikan royalti minerba dengan sistem pentarifan progresif yang dibahas bersama Kepala Negara berada di rentang 1,5%—3% untuk berbagai komoditas pertambangan. Namun, dia tidak mengelaborasi komoditas mana saja yang dimaksud. 

“[Kenaikan royaltinya] antara 1,5%, ada yang sampai 3%, tergantung; dan itu fluktuatif. Kalau harganya naik, kita naikkan [tarif royalti progresif] ke yang paling tinggi, tetapi kalau harganya turun juga tidak boleh mengenakan [tarif] yang besar kepada pengusaha, karena kita butuh pengusaha juga berkembang,” ujarnya di kompleks Istana Negara, Kamis malam.

Bahlil menggarisbawahi usulan kenaikan royalti minerba dari Kementerian ESDM didasari oleh tujuan pemerintah dalam mengoptimasi sumber-sumber baru pendapatan negara, termasuk dari sektor pertambangan emas, nikel, batu bara, dan komoditas lainnya.

“Di samping itu, kami juga sedang memperhitungkan untuk menggali beberapa produk turunan lain dari mineral yang selama ini belum menjadi bagian daripada pendapatan negara,” tuturnya.

“[Royalti minerba direncanakan] naik, karena apa? Karena kita tahu harga nikel sekarang bagus, harga emas bagus. Enggak fair dong kalau kemudian harganya naik, tetapi negara tidak mendapat pendapatan tambahan. Jadi ini dalam rangka menjaga keseimbangan saja.”

Realisasi setoran PNBP dari sektor ESDM sepanjang 2024 tercatat drop 10% secara anual menjadi Rp269,5 triliun. Walakin, realisasi tersebut masih melampaui atau 115% dari target yang dicanangkan tahun lalu sebesar 234,2 triliun.

Subsektor minerba atau pertambangan berkontribusi paling besar dengan setoran PNBP mencapai Rp140,5 triliun atau menyumbang 46,79%. Bahlil pada bulan lalu tidak menampik penurunan PNBP tersebut dipengaruhi oleh sektor minerba akibat harga komoditas global yang sedang menurun.

Berbagai kalangan asosiasi pertambangan—khususnya sektor mineral — sebelumnya mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif royalti minerba, lantaran harga berbagai komoditas logam andalan Indonesia tengah anjlok.

Para penambang saat ini tengah dihadapkan pada masalah makin tingginya biaya pertambangan di Tanah Air setelah pemerintah menerapkan berbagai kebijakan baru pada 2025.

Kebijakan tersebut mencakup kenaikan biaya biodiesel B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.

Selain itu, penerapan global minimum tax (GMT) sebesar 15% mulai Tahun Pajak 2025, iuran tetap tahunan, serta pajak bumi bangunan (PBB) on shore dan tubuh bumi juga dinilai sudah memberatkan pelaku industri pertambangan saat ini.

(wep)

No more pages