Meski mendapat tekanan dari publik, Netanyahu tetap kukuh setelah berhasil mengamankan mayoritas 68 dari 120 kursi di parlemen, menyusul kembalinya Itamar Ben Gvir ke pemerintahan.
Di tengah kebuntuan negosiasi mengenai gencatan senjata sementara atau solusi permanen, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memperingatkan bahwa Israel akan menganeksasi wilayah Gaza secara permanen jika Hamas tidak membebaskan sandera Israel.
Ketidakpastian politik dan pertempuran yang kembali berkobar, termasuk serangan terhadap target Hizbullah di Lebanon Selatan akhir pekan lalu, memberikan tekanan baru terhadap pasar keuangan Israel. Indeks saham utama Tel Aviv 35 turun sekitar 3,2% pada pukul 14.50 waktu setempat setelah pemungutan suara kabinet.
Sejumlah perusahaan besar, seperti Bank Hapoalim—bank terbesar kedua di Israel—dan Phoenix Financial Ltd mengalami penurunan tajam sejak perang dimulai 17 bulan lalu. Sementara itu, nilai mata uang shekel melemah 1,9% pekan lalu, menjadikannya mata uang dengan kinerja terburuk kedua di antara mata uang utama yang dipantau Bloomberg.
Dalam resolusi kabinet, pemerintah menyatakan bahwa mereka kehilangan kepercayaan terhadap Baharav-Miara karena “perilakunya yang tidak pantas” dan “perbedaan pendapat yang mendalam dan berkepanjangan dengan pemerintah, yang menghambat kerja sama efektif.” Namun, pemecatannya belum final karena harus melalui komite yang sebelumnya menunjuknya dan menunggu rekomendasi mereka.
Netanyahu tidak hadir dalam pembahasan kabinet pada Minggu karena adanya konflik kepentingan, mengingat ia sedang menghadapi persidangan atas tuduhan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan—kasus yang diawasi langsung oleh Baharav-Miara.
Menteri Kehakiman Yariv Levin, yang memimpin rapat, melancarkan serangan keras terhadap Jaksa Agung melalui dokumen setebal 86 halaman yang diajukan ke kabinet.
Levin menuding Baharav-Miara menciptakan “demokrasi ilusi” dengan mengatakan, “Sementara Jaksa Agung menjunjung nilai-nilai demokrasi, pada kenyataannya, dia telah menghancurkan prinsip-prinsip yang diklaimnya untuk dijaga.”
Baharav-Miara dan kabinet Netanyahu telah beberapa kali berselisih dalam dua tahun terakhir. Dia menolak mendukung reformasi peradilan yang diajukan pemerintah, mendorong wajib militer bagi pria Yahudi Ortodoks—kebijakan yang membuat marah sekutu terdekat Netanyahu di parlemen—dan menentang pengangkatan kembali Itamar Ben Gvir sebagai Menteri Keamanan Nasional karena dianggap telah mempolitisasi kepolisian.
Levin menegaskan bahwa di bawah kepemimpinan Baharav-Miara, “Kantor Jaksa Agung telah menjadi otoritas politik tirani. Jaksa Agung bertindak sebagai perpanjangan tangan oposisi dan tidak ragu menggunakan segala cara untuk menggagalkan kehendak pemilih.”
Baharav-Miara, Jaksa Agung perempuan pertama Israel, memboikot pertemuan kabinet tetapi mengeluarkan pernyataan tegas: “Pemerintah ingin berada di atas hukum. Kami tidak akan gentar.”
Pekan lalu, kabinet Netanyahu dengan suara bulat memutuskan untuk memberhentikan Ronen Bar, kepala Shin Bet, dengan alasan “hilangnya kepercayaan.” Pemerintah menuding Bar salah memahami hubungan hierarkis antara dinas intelijen dan pemimpin politik.
Namun, Mahkamah Agung Israel menangguhkan keputusan itu pada Jumat hingga hakim menyelesaikan berbagai petisi yang menentang pemecatan Bar. Jaksa Agung, yang tidak dilibatkan dalam keputusan itu, juga menentangnya dengan alasan Netanyahu seharusnya tidak memiliki wewenang untuk memecat Bar karena adanya penyelidikan Shin Bet terhadap dugaan keterlibatan orang-orang dekatnya dengan Qatar.
Netanyahu tidak mengomentari langsung putusan pengadilan, tetapi pada Jumat ia menulis di X, “Israel adalah negara hukum, dan sesuai hukum, pemerintah yang menentukan siapa yang akan memimpin Shin Bet.”
Beberapa menteri kabinet, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa “Hakim Mahkamah Agung tidak akan mengatur perang atau menentukan komandannya. Titik.”
Pernyataan ini memicu kekhawatiran bahwa pemerintah mungkin akan mengabaikan keputusan pengadilan dan tetap memecat Bar, yang berpotensi membawa Israel ke dalam krisis konstitusional.
Forum Bisnis Israel, yang terdiri dari 200 perusahaan besar, mengancam akan menghentikan aktivitas ekonomi jika pemerintah tidak mematuhi putusan pengadilan. Sementara itu, asosiasi perusahaan teknologi dan modal ventura menyatakan kemungkinan akan melakukan aksi mogok. Federasi pekerja Histadrut juga menegaskan bahwa pemerintah harus mematuhi keputusan Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung Israel telah menjadi sasaran serangan politik sejak Netanyahu kembali menjabat pada akhir 2022. Upaya reformasi yudisial yang diajukannya bertujuan untuk melemahkan kekuasaan lembaga tersebut, tetapi reformasi tersebut sempat ditunda setelah perang Israel-Hamas pecah pada Oktober 2023.
Namun, pekan ini parlemen Israel berencana untuk melakukan pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang akan mengubah komposisi Komite Seleksi Hakim, dengan memberikan lebih banyak kekuasaan kepada eksekutif dalam menunjuk hakim Mahkamah Agung dan menghapus hak veto perwakilan yudisial dalam proses tersebut.
(bbn)