Logo Bloomberg Technoz

Dijelaskan, upaya 30 tahun yang dilakukan oleh China untuk mempelajari operasi tempur AS dengan maksud untuk menembus kekuatan militernya, kini dibantu oleh AI. Adapun dikatakan bahwa kekuatan China ada pada kemampuan militer untuk menggunakan AI lebih cepat dari musuhnya.

Ylber Bajraktari, salah satu penulis laporan, mengatakan kepada Bloomberg News bahwa laporan tersebut dibuat untuk menyampaikan kepada Pentagon, kongres, dan publik mengenai urgensi percepatan upaya mengembangkan kekuatan militer AS yang didukung oleh AI. Namun, upaya semacam itu juga memicu kekhawatiran soal kemungkinan perlombaan AI yang bisa memperburuk konflik apapun antara AS dengan China.

Bicara dalam sidang DPR AS, Schmidt memperingatkan investasi China di bidang pertahanan jauh lebih banyak daripada AS. Menurutnya, AS memang sedikit lebih maju di bidang utama seperti AI dan komputasi kuantum, namun Schmidt memperingatkan bahwa ada banyak alasan untuk berpikir bahwa China punya lebih banyak orang untuk mengerjakan AI strategis.

Mantan CEO Google, Eric Schmidt (Sumber: Bloomberg)

Sejumlah raksasa teknologi AS, termasuk Kepala Eksekutif Tesla Inc. Elon Musk, menyerukan pemberhentian sementara pengembangan AI yang digunakan untuk militer karena meningkatkan kekhawatiran soal potensi bahayanya, meskipun para pemimpin angkatan bersenjata AS berjanji untuk tidak membiarkan sistem otonom senjata memilih target manusia sendiri.

Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya ketakutan atas penggunaan AI oleh sipil, termasuk beberapa bos di industri teknologi yang mengembangkan produk baru yang dapat memberikan jawaban meyakinkan atas pertanyaan, dan menyebarkan disinformasi dan citra palsu.

Walaupun begitu, masih banyak pejabat di Departemen Pertahanan dan kongres berpendapat bahwa apabila AS tidak segera mengembangkan senjata berbasis AI, maka AS berisiko kalah dalam potensi konflik ke depannya dengan China.

Pejabat pertahanan AS telah mengamati dengan penuh kewaspadaan ambisi China dalam bidang AI sejak 2017. Kala itu, China mengungkapkan niatnya untuk menjadi pemimpin global pada 2030. 

Pada 2019, China meluncurkan konsep militer baru dengan menggunakan AI di setiap bagian operasi perangnya. Sementara Pentagon memulai upayanya sendiri untuk mengembangkan dan menggunakan AI untuk skenario peperangan pada 2017.

Pakar pertahanan AS khawatir tentang potensi AI yang melanggar batas, seperti serangan terhadap satelit di ruang angkasa dan peluncuran nuklir berbasis AI. Risiko percepatan eskalasi masalah yang dapat timbul masih kurang dieksplorasi oleh AS dan China akibat ketegangan yang berlangsung saat ini.

Gregory Allen, yang sebelumnya bekerja di pusat penelitian AI Pentagon, mengungkapkan upaya pejabat pertahanan AS untuk melakukan  'dialog pengurangan risiko AI pada militer' dengan pihak China sudah dilakukan tahun lalu. Tidak ada satupun yang berhasil, katanya.

"China menolak semua tawaran diskusi soal AI pada militer," ujar Allen. "Situasi ini sangat tragis."

Liu Pengyu, juru bicara Kedubes China di Washington, tidak mengomentari secara langsung dugaan penolakan China terhadap tawaran bilateral AS untuk membahas soal AI. Namun ia berkata China 'menanggapi dengan serius kebutuhan untuk mencegah dan mengelola risiko dan tantangan terkait AI, dan secara aktif bekerja untuk memajukan tatakelola AI internasional.'

Pengyu mengatakan China telah menyerahkan makalah ke forum PBB pada 2021 untuk mengusulkan pengaturan penggunaan AI pada militer, dan mendorong pengembangan yang bertanggung jawab. Mereka juga mengaku siap untuk meningkatkan pertukaran dan kerja sama dengan semua pihak untuk mengatasi risiko yang ditimbulkan oleh penggunaan AI untuk militer.

Sebagai upaya menahan laju ambisi China di bidang AI, pemerintahan Biden Oktober lalu memperketat syarat ekspor cip high-end ke perusahaan-perusahaan yang beroperasi di China, termasuk militer. Gedung Putih juga berupaya meninjau ulang investasi luar negeri di industri tertentu, terutama untuk teknologi baru seperti AI dan komputasi kuantum. Departemen Pertahanan AS diketahui telah meminta US$1,8 miliar untuk AI dalam anggaran 2024, lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Kathleen Hicks, wakil menteri pertahanan, mengatakan pendanaan semacam itu mungkin akan bertambah seiring semakin efektif nya penggabungan teknologi dalam kegiatan sehari-hari.

"Kecerdasan buatan adalah salah satu teknologi garda depan saat ini. Jadi tentu saja kami melihat China berusaha memajukan dan mengeksploitasinya," katanya.

Hicks menambahkan Departemen Pertahanan memastikan AS tidak akan kalah dalam penggunaan AI di lebih banyak aspek militernya, termasuk peperangan, dunia maya, pengintaian, logistik, hingga dukungan pasukan. Ia menyebut AS berkomitmen untuk menggunakan AI secara bertanggung jawab.

Komitmen 'Lemah'

Ambisi dan investasi dalam perang otonom ini juga membuat khawatir Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan kelompok masyarakat sipil seperti Campaign to Stop Killer Robots (Kampanye Untuk Menghentikan Robot Pembunuh), sebuah koalisi berpengaruh yang terdiri lebih dari 180 anggota organisasi termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch.

Koalisi tersebut memperdebatkan sistem senjata otonomi baru dan mengecam komitmen yang 'lemah' dari AS mengenai penggunaan AI untuk militer secara bertanggung jawab.

Tak semua orang seyakin Hicks bahwa AS unggul dalam AI untuk militer. Perwakilan Mike Gallagher, dari Partai Republic negara bagian Wisconsin yang mengetuai Komite Pemilihan DPR untuk Partai Komunis China, mengatakan pada Bloomberg bahwa AS 'bersaing ketat' dengan China dalam bidang AI. Katanya, ia ingin menghentikan aliran modal AS ke perusahaan AI di China.

Institusi Kebijakan Strategis Australia, sebuah wadah pemikir yang fokus pada keamanan nasional, menyatakan pada Maret 2023 bahwa China unggul di 37 dari 44 teknologi kritis, termasuk kecerdasan buatan. Meskipun AS dianggap masuk lebih dulu, China lebih unggul dalam pengembangan algoritme AI dan pembelajaran mesin.

Di tengah persaingan ketat, beberapa orang di Silicon Valley tidak setuju dengan bahasa 'perlombaan senjata'. Sarah Shoker, seorang ilmuan peneliti OpenAI, bicara soal konflik modern dalam sebuah pertemuan di Universitas Vanderbilt bulan ini. Ia mengaku khawatir istilah tersebut secara keliru akan menggabungkan persaingan ekonomi dengan pertahanan dan keamanan internasional. Hal ini bisa menyebabkan kepanikan.

Bajraktari berpendapat kekhawatiran tentang penggunaan AI oleh militer telah lama diramalkan. Namun, ia menyebut persaingan AS dengan China 'tidak akan pergi'. 

"Persaingan ini akan bertahan lama, akan melelahkan, dan mungkin eksistensial," katanya.

(bbn)

No more pages