Menurut Yusril, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditemukan bahwa ada indikasi wanprestasi dalam kontrak pengadaan satelit antara Navayo dan Kemnhan di 2016. Ia menyebut dari kontrak senilai US$16 juta hanya dipenuhi Navayo sebesar Rp1,9 miliar.
“Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian yang harus ditindaklanjuti dengan langkah pidana," tegasnya
Yusril menyampaikan bahwa Kejagung telah menyelidiki kasus tersebut dan menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam kontrak pengadaan satelit. Ia menyebut beberapa pihak di Kemenhan telah diperiksa Kejagung, sementara pihak Navayo tercatat mangkir dari pemanggilan yang dilakukan hingga tiga kali.
"Mereka [Navayo] kini malah mendapat izin untuk menyita aset diplomatik Indonesia di Paris, dan langkah serupa berpotensi dilakukan di negara lain," ujar Yusril.
Dirinya menegaskan bahwa Kejagung perlu meningkatkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan serta menetapkan pihak Kemham yang terlibat dalam kasus tersebut sebagai tersangka. Sementara bagi pihak Navayo, dirinya mendorong agar Kejagung menyerahkan nama-nama terkait ke Interpol guna penerbitan red notice.
"Mereka kini malah mendapat izin untuk menyita aset diplomatik Indonesia di Paris, dan langkah
serupa berpotensi dilakukan di negara lain," ujar Yusril.
“Orang yang namanya masuk DPO dan Red Notice adalah penjahat internasional. Dengan status tersebut, mereka tidak bisa seenaknya membuat surat kuasa untuk mengajukan gugatan penyitaan aset pemerintah RI di luar negeri. Mereka jangan coba-coba mempermainkan Pemerintah Indonesia dengan putusan arbitrase di negara lain," tegas Yusril.
(ain)