Menurut dia, dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih berdasarkan figur calon yang diusung. Jika calon yang terpilih mengundurkan diri, kata dia, suara rakyat menjadi tidak bermakna dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hakim Konstitusi Arsul Sani juga menilai ketidakjelasan dalam Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menimbulkan praktik yang tidak sehat dalam demokrasi. Pasal ini tidak memberikan batasan yang jelas mengenai alasan yang dapat digunakan untuk pengunduran diri calon terpilih.
Akibatnya, kata dia, penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum tak punya pilihan selain merestui pengunduran diri caleg terpilih, tanpa bisa memperjuangkan hak para pemilih yang telah memberikan suara.
Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pengunduran diri calon terpilih harus memiliki alasan yang jelas dan konstitusional. MK dalam putusan ini menilai pengunduran diri caleg terpilih sah hanya jika terkait kepentingan tugas negara; seperti diangkat menjadi menteri, duta besar, atau pejabat negara lainnya.
Putusan MK ini sejalan dengan fenomena yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2024, di mana banyak calon terpilih yang mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada. MK menilai praktik ini mencerminkan ketidaksehatan demokrasi dan berpotensi bersifat transaksional, sehingga mengurangi penghormatan terhadap suara rakyat.
Perkara ini diajukan tiga mahasiswa yaitu Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani. Mereka protes karena sudah memilih calon legislatif dalam Pileg. Akan tetapi, calon yang dipilih justru mengundurkan diri padahal sudah mendapat suara terbanyak pada kontestasi politik tersebut.
Mereka mendalilkan, sejumlah caleg kerap menjadikan pemilu legislatif sebagai tempat menguji elektabilitas di suatu wilayah. Jika hasilnya positif, sejumlah caleg kemudian mengundurkan diri dengan dalih maju sebagai calon kepala daerah.
Di sisi lain, para mahasiswa ini juga mendeteksi adanya kecenderungan tukar suara di internal partai politik untuk melanggengkan kepentingan politik tertentu. Dua hal ini mengkhianati kepercayaan masyarakat yang telah memberikan suara atau dukungan pada Pileg.
(azr/frg)