Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah menutup pekan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia, di tengah gejolak pasar keuangan domestik yang terkepung berbagai sentimen negatif yang memicu arus keluar modal asing dari pasar keuangan Indonesia.
Rupiah spot menyentuh level terlemah intraday trading pada Jumat siang di Rp16.509/US$ pada 14:11 WIB, sebelum akhirnya ditutup melemah di Rp16.500/US$. Level tersebut mencerminkan pelemahan 0,91% pekan ini, terburuk di Asia.
Mayoritas mata uang di kawasan memang tertekan oleh dolar AS sepanjang pekan, akan tetapi rupiah jadi yang terdalam penurunannya.
Lebih buruk dibanding won Korsel, yen Jepang, won Korsel, renminbi Tiongkok hingga peso Filipina. Bahkan ringgit Malaysia masih berhasil menguat bersama rupee India dalam lima hari perdagangan terakhir.
Sepekan terakhir, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan the greenback terhadap enam mata uang utama dunia, membukukan penguatan 0,36%.

Tekanan rupiah bukan hanya terdampak dinamika sentimen global mengingat sepanjang pekan ini berbagai data dan event penting terjadi atau dilansir, mempengaruhi selera berinvestasi para pelaku pasar di pasar keuangan dunia.
Lebih dari itu, rupiah juga terbebani oleh sentimen domestik yang memburuk. Sepanjang pekan ini, pasar saham 'terbantai' oleh berbagai sentimen yang menyeret harga-harga ekuitas domestik.
Pada Selasa, IHSG sempat ambles hingga 7% tergerus kejatuhan saham-saham mahal penggerak indeks, yang menjalar pada tekanan jual saham di sektor lain.
'Black Tuesday' terutama juga karena munculnya spekulasi pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani dari kabinet yang memantik arus keluar besar-besaran dari pasar saham RI bahkan di kala bursa regional menguat.
IHSG kembali ambles pada perdagangan Jumat ini, melemah lebih dari 2% tertekan arus jual yang tak terjeda dari investor asing. Dalam perdagangan Jumat, asing kembali menjual saham dari bursa domestik senilai US$ 142,3 juta atau sekitar Rp2,35 triliun.
Dengan demikian selama lima hari perdagangan pekan ini, pemodal global sudah membukukan net sell senilai US$ 432,1 juta atau Rp7,2 triliun, mengalahkan nilai penjualan pemodal global di bursa India, Malaysia, Thailand dan Vietnam pada periode yang sama. Bahkan di bursa saham Filipina, pemodal global masih net buy senilai US$40,1 juta sepekan ini.
Sementara di pasar surat utang, harga Surat Berharga Negara 'rontok' ditandai dengan kenaikan imbal hasil yang cukup besar. Mengacu OTC Bloomberg, yield SBN 2Y naik 6,9 basis poin (bps) menyentuh 6,699%.
Lalu, tenor 5Y naik 11 bps kini di 6,906%. Sedangkan tenor acuan 10Y naik 7,2 bps menyentuh 7,183%. Tenor 12Y bahkan naik 21,9 bps menyentuh 7,171%, kenaikan yield terbesar dibanding semua tenor.
Adapun tenor 20Y kini sudah di 7,204% naik 8,4 bps. Yield tertinggi kini dicatat oleh SBN 18Y yang naik 9,7 bps menyentuh 7,241%.
Risiko investasi RI, yang tecermin dari pergerakan Credit Default Swap (CDS) melonjak hingga 11% sepekan ini setelah pekan sebelumnya sudah naik 7%. Kenaikan CDS menunjukkan investor menilai risiko investasi di RI membesar sehingga membuat mereka menaikkan pembelian atas proteksi atas terjadinya risiko credit event di depan.
Ketidakpastian arah berbagai kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto, termasuk kondisi fiskal yang memburuk dengan kelesuan penerimaan pajak di tengah daya beli masyarakat yang lungkrah, membuat investor hengkang.
RUU TNI
Gejolak pasar hari ini selain dipengaruhi oleh sentimen pasar global yang cenderung negatif karena ketidakpastian perang tarif serta perkembangan ekonomi AS serta Tiongkok, juga karena peningkatan risiko di pasar RI pasca pengesahan RUU TNI.

Analis menilai, reaksi investor yang negatif tecermin dari kejatuhan harga saham dan surat utang, mencerminkan pendekatan hati-hati para investor melihat potensi pergeseran trajektori demokrasi Indonesia dan struktur pemerintahan, menurut Mohit Mirpuri, Senior Partner di SGMC Capital Pte Ltd, dilansir dari Bloomberg News.
Bank investasi asal AS, Citigroup, menyoroti hal senada. "Kami percaya hal ini [kontroversi RUU TNI dan protes sipil] bisa memicu ketidakpastian di pasar Indonesia," kata Ferry Wong, Analis Citigroup.
Aksi unjuk rasa penentangan RUU TNI menurut Citigroup mengingatkan pada demonstrasi pada Agustus lalu ketika publik menentang upaya DPR yang hendak merevisi RUU Pemilihan Kepala Daerah.
Citigroup menilai, kepastian implementasi reformasi secara transparan akan menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik dan mendukung kerangka demokrasi Indonesia.
Catataan Moody's
Lembaga pemeringkat utang global, Moody's Ratings dalam laporan terbaru yang dirilis, menandai beberapa risiko penurunan terhadap kekuatan fiskal dan ekonomi Indonesia kendati Moody's masih memperkirakan RI bisa membukukan pertumbuhan stabil di 5% sampai tahun depan.
Melansir Bloomberg News, Moody's memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI akan mencapai 5% tahun ini dan 5,1% pada 2026, didorong oleh konsumsi dan investasi swasta yang kuat.
Akan tetapi, dampak tarif perdagangan AS terhadap kinerja ekspor dan pengeluaran pemerintah yang lebih lambat ketika pendapatan juga rendah, bisa menimbulkan risiko penurunan pertumbuhan jangka pendek, menurut Moody's.
Aturan retensi pendapatan ekspor yang baru diterapkan, alias mandatori penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di dalam negeri, bisa membantu mendukung cadangan devisa RI kendati itu juga dapat memicu risiko atas pertumbuhan investasi jangka pendek karena bisa mengganggu arus kas eksportir komoditas, jelas Moody's.

Sementara terkait pembentukan Danantara, lembaga baru itu potensial membuat BUMN lebih efisien hingga bisa menarik lebih banyak modal asing. Akan tetapi, kurangnya kejelasan dalam operasi dan tata kelolanya akan meningkatkan risiko potensial terhadap prospek fiskal, menurut Moody's.
Moody's juga menilai, mekanisme peninjauan proyek dan proses pengambilan keputusan yang tidak jelas, ditambah dengan dewan yang mencakup sejumlah individu terafilisasi politik dan bisnis, bisa menimbulkan persepsi bahwa keputusan investasi oleh Danantara lebih mengutamakan faktor politik ketimbang ekonomi.
Moody's tahun lalu mempertahankan peringkat Indonesia di level investment grade Baa2 dan mempertahankan outlook stabil untuk surat utang RI.
Kala itu, Moody's juga menurunkan skor untuk kekuatan ekonomi RI yang menjadi salah satu pertimbangan pemeringkatan kredit. Moody's beralasan fleksibilitas pasar tenaga kerja melemah disusul penurunan sumbangan manufaktur dalam output perekonomian. Moody's juga menurunkan skor kekuatan fiskal RI satu tingkat dari semula menjadi ba1 untuk mencerminkan moderasi pendapatan yang diharapkan seiring penurunan harga komoditas.
-- Update pada nilai net sell asing di bursa saham dan hasil evaluasi Moody's.
(rui)