Samy Adghirni - Bloomberg News
Bloomberg, Ketika Presiden Donald Trump mengguncang sekutu-sekutu AS dengan manuver geopolitiknya, situasi ini justru memberi kesempatan bagi salah satu pemimpin Eropa untuk kembali menjadi sorotan: Emmanuel Macron.
Presiden Prancis itu telah menghabiskan bulan-bulan terakhir menghadapi berbagai krisis dalam negeri setelah kehilangan mayoritas parlemen akibat pemilu dini yang berakhir buruk musim panas lalu. Namun, menjelang pertemuan para pemimpin Uni Eropa dalam KTT di Brussel pada Kamis (20/03/2025), dinamika politik global memberinya peluang untuk mengubah fokus, dengan menggalang dukungan bagi Kyiv.
Namun, inisiatif Macron ini juga berpotensi membawanya pada benturan langsung dengan Trump.
Presiden AS itu memandang gencatan senjata sebagai peluang untuk membuka kerja sama bisnis dan politik baru dengan Rusia. Sebagai imbalan, dalam percakapan telepon pada Selasa (18/03/2025), Vladimir Putin menuntut penghentian total pasokan senjata ke Ukraina—sesuatu yang, jika dipenuhi, akan menggagalkan upaya Macron untuk menggalang dukungan bagi Kyiv.
Seorang pejabat senior dari salah satu negara besar Uni Eropa menegaskan bahwa negara-negara Eropa tidak akan memenuhi tuntutan Putin.
Juru bicara pemerintah Prancis, Sophie Primas, pada Rabu (19/03/2025) menyebut bahwa tuntutan tersebut “tidak realistis,” dan Macron terus berkomunikasi setiap hari dengan Trump serta Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy untuk mencari solusi.
Di tengah dorongan Trump untuk segera mencapai gencatan senjata, Macron telah mengumpulkan para pemimpin militer dari lebih dari 30 negara serta menteri pertahanan dari kekuatan militer utama di Eropa. Bersama Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, ia mengoordinasikan 37 negara yang bersiap memberikan dukungan militer bagi Kyiv setelah gencatan senjata diberlakukan.
“Situasi global mengembalikan kredibilitas Macron,” kata Melody Mock-Gruet, pakar politik dari Sciences Po Paris.
Inisiatif Macron-Starmer ini memungkinkan militer Eropa, bersama negara-negara Persemakmuran dan Asia, untuk berkontribusi dalam bentuk dana, pasukan, pesawat, atau kapal perang guna melindungi Ukraina dari kemungkinan serangan lebih lanjut dari Kremlin. Meskipun tidak semua sekutu Ukraina sepakat, pertemuan-pertemuan terbaru menunjukkan gagasan ini semakin mendapat dukungan.
Sementara itu, negara-negara Eropa berusaha memperkuat kemampuan militernya agar dapat menampilkan kekuatan penangkal yang meyakinkan terhadap agresi Rusia, tanpa ketergantungan pada AS. Kekhawatiran utama mereka adalah perjanjian damai yang tidak adil dan tidak stabil yang justru memberi Putin kesempatan untuk membangun kembali militernya demi serangan selanjutnya.
Parlemen Jerman pada Selasa meloloskan paket anggaran bersejarah yang akan membuka ratusan miliar euro untuk pembiayaan pertahanan dan infrastruktur setelah bertahun-tahun menerapkan kebijakan penghematan. Macron sendiri telah memulai diskusi dengan sekutu-sekutu Uni Eropa terkait kemungkinan memperluas perlindungan arsenal nuklir Prancis. Ia juga bertemu dengan Kanselir Jerman yang akan segera lengser, Olaf Scholz, serta penggantinya, Friedrich Merz, di Berlin pada Selasa guna menyelaraskan sikap menjelang pertemuan Uni Eropa.
Di tengah upaya para pemimpin Eropa untuk memahami strategi Gedung Putih dan merancang respons mereka sendiri, hubungan jangka panjang Macron dengan Trump memberinya peran penting. Setelah KTT Uni Eropa awal bulan ini, Macron—yang telah mengenal Trump sejak masa jabatan pertamanya—melakukan pembicaraan selama lebih dari setengah jam dengan presiden AS itu, menurut seorang pejabat Prancis.
Macron percaya bahwa Trump sangat menghargai hubungan personal, menurut sumber yang mengetahui pemikirannya. Presiden Prancis itu meyakini bahwa meskipun Trump bukan pendengar yang baik, jika seseorang dapat menemukan argumen yang tepat, maka ia bisa menarik perhatiannya.
Di tengah upaya pemimpin Barat menanggapi langkah Trump dalam mengubah tatanan global, hubungan ini menjadikan Macron sebagai salah satu tokoh rujukan.
Perdana Menteri Kanada Mark Carney memilih Paris sebagai tujuan pertama kunjungan luar negerinya pekan ini setelah menjabat. Setelah berdiskusi mengenai dukungan untuk Ukraina dan meningkatnya tarif dagang AS, ia menyatakan keinginannya untuk memperkuat hubungan dengan “sekutu yang dapat diandalkan.” Seorang pemimpin dari kawasan Amerika juga dikabarkan meminta bantuan Macron dalam menangani Trump, menurut sumber yang mengetahui diskusi tersebut.
Kembalinya Macron ke panggung internasional juga disambut positif oleh rakyat Prancis. Popularitasnya yang sempat anjlok kini mulai membaik. Jajak pendapat Ifop untuk Ouest-France menunjukkan bahwa pada Maret, tingkat kepuasan publik terhadap Macron naik menjadi 31%, meningkat tujuh poin dari bulan sebelumnya dan mendekati level sebelum pemilu parlemen tahun lalu.
“Kami selalu berada di pihak perdamaian,” ujar Macron pada Selasa dalam konferensi pers bersama Scholz di Berlin. “Kita tidak boleh tunduk pada pembalikan nilai-nilai atau retorika yang keliru. Ini adalah peran historis Prancis, Jerman, dan seluruh Eropa—berdiri di sisi rakyat Ukraina.”
Namun, upaya Macron untuk mempererat hubungannya dengan Gedung Putih juga menghadapi tantangan besar. Seorang anggota parlemen Prancis dari oposisi tengah-kiri baru-baru ini menyatakan bahwa AS sebaiknya mengembalikan Patung Liberty, karena dianggap tidak lagi mencerminkan nilai-nilai bersama.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyindir bahwa Prancis seharusnya berterima kasih kepada AS karena mereka tidak berbicara dalam bahasa Jerman—mengacu pada peran AS dalam pembebasan Prancis pada Perang Dunia II.
Dari segi kekuatan militer, AS sebelumnya telah menangguhkan pasokan senjata dan intelijen militer ke Kyiv setelah Trump dan Zelenskiy berselisih dalam pertemuan di Oval Office bulan lalu.
Mengirim pasukan Eropa ke Ukraina jelas membawa risiko besar, menurut seorang pejabat Eropa, terutama jika langkah itu justru membuat Zelenskiy berani menolak tekanan AS untuk berdamai dengan Putin.
Selain itu, belum jelas bagaimana Prancis akan membiayai komitmen militernya yang semakin besar terhadap Ukraina. Macron menegaskan tidak akan menaikkan pajak, sementara Menteri Keuangan Eric Lombard menegaskan bahwa negara tidak memiliki ruang untuk menambah utang. Lombard dijadwalkan bertemu dengan perbankan dan perusahaan asuransi pada Kamis guna membahas opsi pendanaan bagi sektor pertahanan.
“Posisi Macron saat ini sangat rapuh,” ujar Mock-Gruet.
Sejak menjabat pada 2017, Macron telah menyerukan penguatan kapasitas militer Eropa secara besar-besaran. Namun, selama bertahun-tahun, ia gagal mengajak para sekutu bertindak. Kini, gagasannya menjadi arus utama di ibu kota-ibu kota Eropa yang tengah berpacu menghadapi perubahan geopolitik yang cepat.
“Senang memiliki sosok seperti Macron yang bersedia mengambil peran ini, meskipun keputusan-keputusan ini sebenarnya sudah seharusnya diambil jauh lebih awal dalam perang Ukraina,” kata Famke Krumbmüller, konsultan geostrategi di EY.
(bbn)