Bloomberg Technoz, Jakarta – Niatan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk kembali memacu produksi listrik berbahan bakar fosil diyakini justru bisa berdampak negatif terhadap harga batu bara global, tidak terkecuali Indonesia.
Vice President, Head of Marketing, Strategy and Planning PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi mengatakan, jika melihat data historis penggunaan batu bara untuk energi di AS, pada 2023 produksi batu bara mencapai 526,5 juta ton sedangkan konsumsi hanya sebesar 317 juta ton, berdasarkan data BP PLC.
Pada 2024, penggunaan batu bara AS untuk sektor pembangkit juga mengalami penurunan seiring dengan arah kebijakan ekonomi hijau mantan Presiden Joe Biden.
“Kami berpandangan kebutuhan batu bara di AS masih dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri, terlebih juga AS menjadi eksportir juga. Maka batu bara Indonesia akan terpengaruh dari sisi harga yang diperkirakan dapat menurun seiring dengan potensi peningkatan suplai [global] dari AS,” kata Audi saat dihubungi, Kamis (20/3/2025).

Kondisi serupa sebenarnya sudah terjadi pada komoditas minyak mentah. Pada Desember 2024, AS mengalami tren kenaikan produksi minyak mentah hingga mencapai 13,5 juta barel per hari (bph).
Sementara itu, pascapengumuman darurat energi nasional oleh Trump saat dia dilantik 20 Januari 2025, tercatat harga minyak lightsweet AS, West Texas Intermediate (WTI), melorot 6,2% year to date (ytd), sedangkan Brent turun 4,6% ytd. Hal ini terjadi seiring dengan peningkatan suplai minyak dari AS di pasar.
Dalam konteks batu bara, mengutip data Energy Information Administration (EIA) AS, permintaan batu bara global tahun ini masih akan tumbuh moderat menjadi 8,80 miliar ton. China masih akan menjadi konsumen batu bara terbesar dunia dengan porsi 56%, kemudian disusul oleh India sebesar 15,5%.
Dampak kebijakan Trump terhadap permintaan batu bara global pun diperkirakan cenderung minim, seiring dengan kekhawatiran pemulihan ekonomi China yang lambat dan pengembangan energi hijau.
Pada saat bersamaan, langkah Trump yang menyetujui ekspansi tambang Spring Creek, dengan target ekstraksi tambahan sebesar 39,9 juta ton batu bara, justru makin mendorong oversupply global dan akan menekan harga.
“Tercatat, hanya Asean dan India yang diperkirakan mengalami pertumbuhan konsumsi batu bara secara konsisten pada 2025. Bahkan, AS diperkirakan mengalami penurunan konsumsi batu bara sebesar 4,6%, per data EIA,” ujar Audi.
Dampak ke Indonesia
Potensi makin turunnya harga batu bara akibat kelebihan pasokan global tersebut, kata Audi, pada akhirnya akan berdampak pada terkontraksinya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Indonesia dari setoran royalti komoditas tersebut.
Namun, dengan potensi terjadinya penurunan harga karena kenaikan produksi batu bara AS, Indonesia dinilai masih bisa mengamankan ekspor batu bara ke negara China, India, hingga beberapa negara Asean yang potensi konsumsinya yang masih tumbuh pada tahun ini.
Secara terpisah, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia/Indonesian Coal Mining Association (APBI/ICMA) menyatakan kebijakan Trump untuk menghidupkan kembali industri pembangkit batu bara di AS tidak serta-merta akan memengaruhi harga komoditas tersebut.
"Harga akan naik sepanjang permintaannya naik. Bukan karena Amerika lalu otomatis naik. Kenapa? Karena keputusan Amerika juga tidak langsung pengaruh ke harga secara global. Apalagi, mereka juga punya produksi dalam negeri sendiri," ujar Plt Direktur Eksekutif APBI/ICMA Gita Mahyarani.
Menurut Gita, kebijakan Trump bisa saja membuat harga batu bara naik lantaran pasar mengasumsikan permintaan komoditas tersebut akan meningkat seiring dengan keinginan Pemerintah AS untuk menghidupkan kembali penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik.
Namun, kebijakan tersebut juga bisa tidak memberikan pengaruh karena pada dasarnya harga batu bara akan mengikuti kondisi permintaan dunia secara agregat. Dalam beberapa hari terakhir, lanjut Gita, harga batu bara terlihat justru cenderung menurun.
"Jadi sulit untuk menarik kesimpulan harga batu bara akan otomatis terpengaruh dari kebijakan Trump," tegasnya.

Harga batu bara di pasar ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman bulan ini diperdagangkan di US$96,85/ton hari ini, menjadi yang terendah sejak Mei 2021 atau hampir 4 tahun terakhir.
Dalam sepekan terakhir, harga batu bara ambruk 7,44% secara point to point. Selama sebulan ke belakang, harga minus 6,18%. Sepanjang tahun berjalan (ytd), harga si batu hitam ambrol 22,48%. Setahun ini, harga amblas 24,96%.
Sebelumnya, Trump berupaya melawan keuntungan ekonomi China dari listrik berbasis batu bara, dengan memberi wewenang kepada pemerintahannya untuk meningkatkan produksi listrik dari bahan bakar fosil.
"Saya memberi wewenang kepada pemerintahan saya untuk segera mulai memproduksi Energi dengan BATU BARA YANG INDAH DAN BERSIH," tulis Trump dalam sebuah unggahan di media sosial, awal pekan ini.
Tidak jelas apa yang dimaksud Trump atau bagaimana keputusan media sosialnya akan memengaruhi kebijakan AS.
Namun, Trump telah menandatangani perintah eksekutif yang menyatakan keadaan darurat energi nasional dan mengarahkan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) untuk meningkatkan produksi dan distribusi bahan bakar fosil.
(wdh)