Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan rentetan kejadian sebelum akhirnya harga batu bara acuan (HBA) ditetapkan sebagai harga patokan kegiatan ekspor komoditas tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno menyebut sejatinya pemerintah tidak menginginkan komoditas andalan RI yakni batu bara dihargai rendah di pasar global. Apalagi, Indonesia merupakan produsen terbesar batu bara termal atau steam coal.
Mulanya, pada September 2024, Direktorat Jenderal Minerba mengajak diskusi pelaku usaha di kantor Ditjen Minerba di bilangan Soepomo, Tebet, guna mencari jalan keluar ihwal pengaturan harga jual batu bara Indonesia dalam perdagangan internasional.
Ditjen Minerba menawarkan dua pilihan pada saat itu. Pertama, menaikkan harga acuan batu bara yang diekspor Indonesia. Atau, kedua, menurunkan produksi batu bara Indonesia untuk mengatrol harga.

Akan tetapi, setelah proses diskusi panjang, sejumlah pengusaha batu bara yang tergabung dalam asosiasi yang tidak disebutkan namanya itu tidak kunjung memberikan masukan terkait dengan mekanisme pengaturan harga batu bara yang ditawarkan Ditjen Minerba.
“Kami lempar harga, ada dua obatnya. Harga kita naikkan karena kita produsen steam coal terbesar di dunia atau produksi kita turunkan. Kami tunggu [ternyata] enggak ada masukan sama sekali, padahal pemerintah menunggu ada masukan,” kata Tri di agenda Mining Forum 2025, awal pekan ini.
Implikasi Kompleks
Pada akhirnya, Tri mengatakan opsi 'menaikkan harga acuan' menjadi pilihan pemerintah. Penyebabnya, opsi penurunan produksi batu bara dinilai memiliki implikasi yang lebih kompleks di dalam maupun luar negeri.
Untuk merealisasikan penurunan produksi, pemerintah harus membuat ketentuan yang lebih ketat berupa sejumlah syarat yang harus dipenuhi penambang untuk mendapatkan kuota produksi.
Misalnya, syarat kepatuhan reklamasi pascatambang hingga syarat jumlah kecelakaan yang terjadi saat menambang.
Dia mencontohkan,perusahaan A mengajukan kuota 10 juta ton dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) batu baranya. Namun, setelah melalui pengecekan, jika perusahaan tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud, kuota produksi yang akan disetujui dengan sendirinya akan berkurang.
“Kami ukur secara persentase. Pada akhirnya si PT A itu meskipun [RKAB] yang diajukan 10 juta ton, dia bisa dapatnya hanya 1 juta ton. Kenapa? Karena [misalnya] reklamasinya belum bayar, pascatambang belum bayar, kecelakaannya tinggi ya [perusahaan] enggak pas lah untuk itu,” tutur Tri.
Di tingkat perdagangan internasional, Tri mengungkapkan opsi penurunan produksi batu bara dikhawatirkan malah akan menjadi isu sensitif sehingga pemerintah mengembalikan pilihan kepada asosiasi.
Akan tetapi, usulan tersebut tidak cepat mendapatkan respons dari kalangan pengusaha hingga akhirnya pemerintah menetapkan HBA sebagai patokan acuan harga batu bara untuk kegiatan ekspor.
“Namun, pertanyaannya apakah ini nanti tidak timbul permasalahan? Maksud kami sebagai pemerintah, kami berharap dari asosiasi atau perusahaan mengusulkan terlebih dahulu nanti kita bareng bersama untuk berbicara,” jelas Tri.

Tri mengeklaim sebelum mewajibkan pengusaha untuk mengacu pada HBA dalam kegiatan ekspor batu bara, pemerintah sudah terlebih dahulu melakukan pendalaman atau excercise dengan melibatkan asosiasi, khususnya dalam menentukan formula HBA yang bisa digunakan sebagai acuan harga ekspor.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan Untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batubara per 1 Maret 2025.
Aturan tersebut menjadi sorotan beberapa pekan terakhir. Sejumlah pengusaha pada awalnya mendesak agar mandatori HBA untuk ekspor batu bara bisa diberlakukan secara bertahap.
Penggunaan HBA dalam kegiatan ekspor batu bara disebut dapat merugikan penambang. Tidak hanya itu, ekspor dinilai bisa terhambat, lantaran HBA membuat harga jual batu bara Indonesia lebih mahal dari harga acuan global. Walhasail, pelanggan batu bara RI seperti China bisa tidak lagi berminat mengimpor dari Indonesia.
Akan tetapi, dalam perkembangan terbaru, pengusaha terlihat mulai membiasakan diri dengan transaksi ekspor yang menggunakan harga acuan HBA.
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia/Indonesian Coal Mining Association (APBI/ICMA) mengatakan HBA pada periode kedua Maret 2025 makin mengacu pada harga pasar. Hingga kini eksportir batu bara masih menyesuaikan transaksi penjualan dengan HBA.
“Proses ekspor saat ini masih berjalan normal, sesuai dengan kontrak. Untuk HBA yang keluar pada 15 Maret makin mengacu ke harga pasar, dengan sampling yang diambil juga makin menyesuaikan," kata Plt Direktur Eksekutif APBI/ICMA Gita Mahyarani saat dihubungi, awal pekan ini.
Gita menyebut mekanisme HBA yang diterbitkan dua kali dalam sebulan masih sangat baru bagi pelaku industri batu bara. "Kita masih terus memantau dan harapannya dengan makin mendekati harga pasar akan makin baik dan datanya konsisten dengan situasi pasar,” lanjutnya.
(wdh)