Ketiga, kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang dinilai masih belum memberikan sinyal pelonggaran yang kuat. Kenaikan suku bunga global serta kebijakan moneter yang lebih ketat berpotensi menekan likuiditas di pasar keuangan domestik dan mengurangi daya tarik aset Indonesia bagi investor asing.
Keempat, ketidakpastian terkait kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membalikkan sentimen pasar yang negatif. Pasar masih menunggu langkah konkret dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing investasi dan memperbaiki iklim bisnis di dalam negeri.

Kelima, revisi undang-undang militer yang dianggap dapat mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi. Investor asing biasanya menghindari pasar yang memiliki risiko politik tinggi karena dapat berdampak langsung pada stabilitas makroekonomi.
Keenam, tekanan jual terhadap saham-saham berkapitalisasi besar, baik yang masuk dalam indeks LQ45 maupun di luar indeks tersebut. Beberapa saham seperti DCII, BREN, TPIA, dan BRMS mengalami tekanan jual yang signifikan, yang turut menyeret IHSG ke zona merah.
"Pergerakan saham-saham ini cukup besar, dan meskipun tidak semua masuk dalam indeks LQ45, dampaknya terhadap IHSG tetap signifikan," jelas Hadi.
Di tengah tekanan tersebut, CGS Sekuritas tetap merekomendasikan beberapa saham defensif yang dianggap lebih stabil di tengah ketidakpastian.
Saham-saham seperti BBCA, ASII, UNTR, TLKM, ISAT, MIDI, dan SIDO masih dipertahankan sebagai pilihan utama karena memiliki fundamental yang kuat dan lebih tahan terhadap volatilitas pasar.
Meskipun sentimen pasar saat ini kurang mendukung, investor diharapkan tetap mencermati perkembangan kebijakan pemerintah serta data ekonomi yang akan dirilis dalam beberapa bulan ke depan.
"Pasar masih bisa mengalami pemulihan jika ada langkah-langkah kebijakan yang jelas dari pemerintah dan otoritas keuangan," pungkas Hadi.
Potensi Rebound
Meski begitu, riset terbaru dari Stockbit menunjukkan bahwa kondisi ini memiliki kemiripan dengan berbagai episode koreksi IHSG di masa lalu, yang sebagian besar diikuti oleh pemulihan signifikan.
Dalam 20 tahun terakhir, IHSG mengalami delapan kali penurunan lebih dari 15%, dan enam di antaranya bukan disebabkan oleh krisis besar seperti pandemi Covid-19 atau krisis keuangan global.
Secara historis, rata-rata penurunan IHSG di luar periode krisis mencapai -21,4%, dengan kisaran pelemahan antara 15,8% hingga 26,9%.
"Dalam banyak kasus, IHSG selalu berhasil rebound ke level sebelum terjadinya koreksi, bahkan dalam lima kejadian berhasil melampaui level sebelum penurunan terjadi," ungkap Investment Analyst Lead Stockbit, Edi Chandren dalam risetnya, Kamis (20/3).
Salah satu peristiwa yang bisa menjadi referensi adalah perang dagang antara AS dan China pada 2018, di mana IHSG sempat anjlok signifikan namun berhasil pulih dalam beberapa bulan.
Meski sejarah menunjukkan pola rebound, Stockbit mengingatkan bahwa tidak ada jaminan kondisi saat ini tidak akan berujung pada krisis yang lebih dalam.
(dhf)