Bloomberg Technoz, Jakarta - Para pemodal global melanjutkan tekanan jual di pasar keuangan domestik bahkan ketika Bank Indonesia memutuskan menahan bunga acuan di level 5,75% sesuai ekspektasi pasar.
Mengacu data otoritas bursa saham, ketika IHSG rebound pada perdagangan Rabu kemarin dengan kenaikan lebih dari 1%, pemodal asing masih mencatat posisi net sell atau jual bersih senilai Rp910,64 miliar.
Alhasil, selama bulan Maret ini, investor asing sudah membukukan net sell sebesar US$ 513 juta atau Rp8,47 triliun sampai perdagangan kemarin, memakai kurs dolar AS di pasar spot terakhir.
Sementara di pasar surat utang negara (SBN), investor asing telah mencatat posisi net sell selama lima hari perdagangan beruntun. Dua hari pada awal pekan ini, asing membukukan net sell senilai Rp869 miliar. Namun, selama Maret, posisi asing masih net buy sebesar Rp3,14 triliun.
Adapun dari instrumen operasi moneter Bank Indonesia yang ditujukan untuk menarik hot money, dana asing jangka pendek, yakni Sekuritas Rupiah (SRBI), Sekuritas Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SuVBI), investor asing mencatat net outflows secara agregat senilai Rp3,41 triliun month-to-date.
Tekanan jual investor asing yang masih membesar membebani nilai rupiah kendati selama Maret mata uang ini berhasil membukukan penguatan 0,33%, didukung oleh sentimen global yang membaik.

Namun, penguatan rupiah masih jauh tertinggal dibanding mata uang Asia lain seperti baht yang menguat hampir 2%, atau ringgit yang hampir 1% dan peso yang menguat lebih dari 1% pada periode yang sama.
Rupiah bergerak rata-rata di kisaran Rp16.411/US$ selama bulan ini, lebih lemah dibanding pergerakan rata-rata sepanjang tahun di kisaran Rp16.325/US$.
Menurut pandangan analis, arus jual asing yang membesar terutama seperti yang terlihat di pasar saham pada Selasa lalu, dilatarbelakangi kurangnya kepercayaan investor asing pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat aktivitas konsumsi rumah tangga yang lemah serta langkah 'efisiensi' anggaran yang digeber oleh Presiden Prabowo Subianto.
"Investor asing percaya bahwa kebijakan efisiensi itu pada akhirnya menjadi penghematan fiskal [fiscal austerity] di masa mendatang ketimbang realokasi ke program flagship Presiden Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis serta progam Tiga Juta Rumah, selama Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan," kata Fixed Income and Macro Strategist Lionel Priyadi dan Ekonom Muhammad Haikal dari Mega Capital Sekuritas.
Keyakinan itu didasari akan pengereman anggaran tak terduga. yang diambil SMI pada akhir tahun lalu senilai Rp77 triliun. Namun, keyakinan itu terancam goyah. "Perhitungan itu bisa berubah bila Presiden Prabowo memutuskan mengeluarkan SMI dari kabinet. Keputusan seperti itu bisa memicu arus jual besar-besaran modal asing sebagaimana yang terlihat di pasar saham pada Selasa lalu," jelas analis.
Hal lain adalah efektivitas alat operasi moneter BI. Arus keluar modal asing dari SRBI, SVBI dan SuVBI mengindikasikan tanda tanya perihal efektivitas tiga instrumen tersebut dalam membantu stabilisasi rupiah.
Minat asing yang memudar di tiga instrumen itu pada akhirnya mendorong BI makin agresif mengintervensi pasar SBN. Mengacu data Kementerian Keuangan, selama sebulan terakhir yaitu 18 Februari hingga 18 Maret, BI telah memborong SBN senilai Rp27,85 triliun.
Analis memperkirakan, intervensi BI di pasar SBN akan terus berlanjut menyusul aksi jual besar-besaran oleh perbankan. Posisi perbankan nasional di SBN turun sedikitnya Rp33,99 triliun.
"Apabila situasi ini berlanjut dalam beberapa bulan ke depan karena kurangnya kepercayaan investor pada kehati-hatian fiskal Pemerintahan Presiden Prabowo, maka waktu yang paling tepat bagi BI untuk memangkas BI rate kemungkinan pada September nanti setelah The Fed menurunkan bunga acuan satu atau dua kali," kata analis.
Revisi UU TNI
Selain itu, perkembangan lanskap politik domestik juga menjadi sorotan. Dalam hal ini adalah revisi Undang-Undang TNI yang dinilai dapat mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi, menurut CGS Sekuritas Indonesia.
Investor asing biasanya menghindari pasar yang memiliki risiko politik tinggi karena dapat berdampak langsung pada stabilitas makroekonomi.

Faktor revisi beleid yang memperluas peran militer hingga ke ranah sipil, menjadi satu dari enam hal yang disoroti oleh para investor asing.
Head of Research CGS Sekuritas Indonesia, Hadi Soegiarto, menyebut lima faktor lain yang menjadi pertimbangan investor asing ketika menarik dana mereka dari pasar modal Indonesia.
Kesimpulan ini diambil usai CGS International menggelar konferensi online bersama 100 investor regional, di hari insiden trading halt IHSG pada Selasa (18/5/2025).
Lima faktor lain di antaranya adalah spekulasi tentang posisi kunci di kabinet termasuk kabar mundurnya Menkeu Sri yang dengan cepat dibantah.
Lalu, potensi perubahan manajemen di bank-bank besar pelat merah (BUMN). Berikutnya, kebijakan moneter BI yang masih belum memberi sinyal pelonggaran. Kemudian, ketidakpastian kebijakan Pemerintah RI mendorong pertumbuhan ekonomi.
Terakhir, tekanan jual yang melanda saham-saham 'mahal' yang selama ini 'menggendong' indeks seperti DCII lalu BREN, TPIA juga BRMS.
Yield naik
Tekanan jual yang terlihat mereda di pasar saham kemarin, nyatanya beralih ke pasar surat utang.
Mengacu data OTC Bloomberg sampai Rabu malam, hampir semua tenor mencatat kenaikan imbal hasil.
Yield SBN acuan 10 tahun naik 6,7 basis poin menyentuh 7,09%. Ini adalah tingkat imbal hasil tertinggi sejak 3 Februari atau dalam enam pekan terakhir.
Begitu juga tenor 5 tahun yang naik 8,2 basis poin, kini di 6,803% juga jadi yang tertinggi akhir Februari lalu.
Dalam sebulan terakhir, mayoritas tenor SBN bergerak naik imbal hasilnya, indikasi tekanan harga. Yield acuan 10 tahun misalnya, sudah naik 27 basis poin. Sedangkan tenor lebih pendek 2 tahun dan 5 tahun, yield-nya naik masing-masing 9,1 bps dan 21,3 bps pada periode yang sama.

Sementara tenor lebih panjang 15Y dan 20Y masing-masing naik 6,5 bps dan 5,9 bps dalam sebulan terakhir.
Kekhawatiran akan prospek fiskal Indonesia ditengarai menjadi pemicu terbesar susutnya animo asing di instrumen fixed income tersebut.
Laporan kinerja APBN sampai akhir Februari yang mencatat defisit akibat penurunan penerimaan pajak, menyalakan peringatan kehati-hatian pada para pemegang surat utang.
Defisit yang langka terjadi di awal tahun, dikhawatirkan akan memaksa Pemerintah RI menerbitkan surat utang lebih banyak untuk menambal anggaran yang tekor, di tengah rencana belanja program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto yang memakan biaya besar.
Batas atas defisit fiskal 3% berpotensi jebol apabila tidak ada upaya penambahan sumber pendapatan atau pengurangan belanja.
Kabar yang dilontar oleh Menkeu Sri mungkin memberi sedikit kelegaan meski pasar terlihat masih menahan diri.
"Pertumbuhan [penerimaan pajak] 6,6% positif lebih baik dibandingkan yang kami sampaikan Februari per akhir posisi yaitu negatif 3,8%. Pada 1-17 Maret 2025, terjadi turn around dari penerimaan bruto yang tadinya negatif 3,8% akhir Februari pada 17 Maret, posisi sudah positif 6,6%," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (18/3/2025).
Yield SUN pada Kamis pagi ini melanjutkan kenaikan di sebagian tenor. Untuk tenor 10 tahun, tingkat imbal hasilnya pagi ini terpantau menyentuh 7,103%.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam taklimat media kemarin mengatakan, otoritas bank sentral akan memastikan aset keuangan di Indonesia, khususnya Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), akan tetap menarik sebagai tempat berinvestasi bagi investor asing.
-- dengan bantuan Recha Tiara Darmawan.
(rui/dhf)