Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah sebenarnya berpeluang untuk bergerak sedikit lebih kuat dalam perdagangan hari Kamis ini, apabila melihat lanskap pasar global pasca pengumuman hasil Federal Open Meeting Committee (FOMC) bank sentral Amerika Serikat (AS) dini hari tadi.
Akan tetapi, sentimen domestik sepertinya masih akan membebani gerak rupiah di tengah tekanan jual modal asing yang masih berlanjut di pasar saham maupun surat utang RI. Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun sudah menyentuh 7,103% pagi ini bahkan ketika selisih imbal hasil investasi dengan US Treasury kian melebar.
Keputusan Federal Reserve (The Fed) menahan bunga acuan sesuai ekspektasi pasar, memberikan petunjuk bahwa peluang pemangkasan suku bunga kebijakan makin terbuka sampai dua kali, menyusul validasi bank sentral bahwa perekonomian terbesar di dunia itu potensial melambat pertumbuhannya.
The Fed memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini dari 2,1% menjadi 1,7%, . Pada saat yang sama, The Fed menaikkan estimasi median inflasi inti AS tahun ini menjadi 2,8% dari semula 2,5%.
Indeks dolar AS ditutup menguat pasca hasil FOMC diumumkan. Para investor menyerbu US Treasury, surat utang AS, terutama tenor pendek yang mencatat penurunan tingkat imbal hasil kini di 3,972% untuk tenor 2Y. Sementara tenor 10Y terpangkas 4 basis poin ke 4,243%. Indeks saham di Wall Street juga hijau pada penutupan Rabu di mana S&P 500 naik 1,08%.
Latar belakang itu memberikan nuansa yang agak campur aduk bagi aset-aset di pasar domestik. Penguatan indeks dolar AS menekan rupiah di pasar offshore.

Dini hari tadi, rupiah masih ditutup melemah 0,13% di level Rp16.565/US$, cukup berjarak dengan posisi penutupan rupiah spot kemarin di Rp16.525/US$, menyiratkan bahwa tekanan pelemahan mungkin masih ada hari ini.
Akan tetapi, hijaunya indeks saham Wall Street mungkin akan membantu sentimen lebih positif di bursa dalam negeri.
Sementara penurunan yield Treasury yang memperlebar selisih imbal hasil dengan Surat Utang Negara (SUN), kini jadi 282 basis poin, seharusnya bisa menaikkan daya tarik SUN di mata pemodal global.
Dua hal itu sebenarnya bisa menjadi katalis positif bagi rupiah untuk bergerak lebih kuat hari ini.
Namun, perlu dicermati bahwa tekanan jual para pemodal global di pasar keuangan Indonesia masih belum terhenti sampai kemarin. Meski IHSG berhasil rebound dengan kenaikan lebih dari 1% setelah kejadian 'Black Tuesday', investor asing nyatanya masih melanjutkan aksi jual dengan nilai net sell US$ 55 juta atau sekitar Rp910,64 miliar pada perdagangan Rabu.
Sementara di pasar surat utang, asing memperpanjang periode jual lima hari beruntun. Dua hari awal pekan ini, modal global keluar dari surat utang RI senilai Rp869 miliar.
Bila tekanan jual asing di pasar saham maupun surat utang berlanjut, akan sulit bagi rupiah untuk mendapat keuntungan dari perkembangan pasar global.
Pada Kamis pagi ini, mata uang Asia kompak menguat dipimpin oleh baht, lalu yen, dolar Singapura, yuan offshore dan dolar Hong Kong. Meski penguatannya tipis saja.
Sementara bursa saham regional diperkirakan bergerak variatif bila melihat pergerakan indeks saham berjangka pagi ini.
Sementara di pasar surat utang, terpantau tingkat imbal hasil SUN mayoritas melanjutkan kenaikan pagi ini. SUN tenor 10 tahun menyentuh 7,103%. Tenor 16Y bahkan sudah di 7,166%.

Secara teknikal nilai rupiah masih ada potensi melemah, usai mengonfirmasi bearish pattern dengan break support kuatnya kemarin. Cermati level support krusial menuju level Rp16.550/US$ yang merupakan support pertama dengan target pelemahan kedua akan tertahan di Rp16.600/US$.
Apabila kembali break kedua support tersebut, rupiah berpotensi melemah makin jauh menuju level Rp16.700/US$ sebagai support paling terkuat di sisa sepekan perdagangan kedepan.
Jika nilai rupiah terjadi penguatan hari ini, resistance menarik dicermati pada level Rp16.500/US$ dan selanjutnya Rp16.470/US$ secara potensial bagi rupiah dalam time frame daily.
Keputusan Bank Indonesia
Bank Indonesia kemarin telah memutuskan mempertahankan tingkat bunga acuan di 5,75% sebagai upaya membantu stabilitas rupiah di tengah kelesuan ekonomi domestik yang sejatinya membutuhkan dorongan lebih banyak.
Gubernur Perry Warjiyo menekankan pentingnya menjaga stabilitas. Keputusan itu juga diambil setelah hari sebelumnya terjadi arus jual besar-besaran di pasar saham, salah satunya karena kekhawatiran pasar akan pelemahan kondisi ekonomi domestik dan ketidakpastian kebijakan pemerintah, termasuk kecemasan akan risiko defisit fiskal yang melebar.
Keputusan BI itu sesuai dengan ekspektasi pasar. "Masih ada ruang untuk memangkas bunga acuan, akan tetapi kondisi global masih belum memungkinkan untuk itu," kata Perry.
BI akan mencermati pergerakan rupiah ke depan, perkembangan inflasi serta pertumbuhan ekonomi dalam menentukan kebijakan bunga acuan ke depan.
Rupiah melanjutkan pelemahan pasca keputusan RDG BI diumumkan kemarin.
Arus keluar modal asing
Dalam paparan hasil RDG kemarin, Bank Indonesia melaporkan arus keluar modal asing berlanjut pada bulan Maret senilai US$ 300 juta atau sekitar Rp4,95 triliun month-to-date. Sementara sepanjang tahun ini, nilai net inflows mengecil tinggal US$ 800 juta year-to-date hingga 17 Maret, sekitar Rp13,22 triliun.
Meski aliran modal ke Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mendukung inflows tetap positif sejak awal tahun di tengah hengkangnya asing dari pasar saham, nyatanya tiga instrumen operasi moneter BI yang ditargetkan untuk menarik dana asing yaitu SRBI, lalu Sekuritas Valas (SVBI) serta Sukuk Valas (SuVBI) secara agregat mencatat outflows selama Maret sebesar Rp3,41 triliun month-to-date.

Itu terutama karena arus keluar dari SVBI dan SuVBI senilai Rp6,97 triliun. "Berlanjutnya aliran modal asing keluar dari SRBI, SVBI serta SuVBI menunjukkan tanda tanya besar mengenai efektivitas instrumen utama BI untuk mencapai tujuan stabilisasi rupiah," kata analis Mega Capital Sekuritas.
BI terlihat 'habis-habisan' mengintervensi rupiah melalui pasar sekunder SBN. Dalam sebulan terakhir saja, BI memborong SBN hingga Rp27,85 triliun.
Analis menilai, arus keluar modal asing yang membesar belakangan mencerminkan kurangnya kepercayaan akan prospek pertumbuhan Indonesia karena konsumsi rumah tangga yang lemah dan berbagai kebijakan Pemerintah RI.
"Investor asing percaya bahwa langkah efisiensi anggaran akan berubah jadi penghematan fiskal [fiscal austerity] di masa depan selama Sri Mulyani jadi Menteri Keuangan. Kalkulasi itu bisa berubah bila Presiden Prabowo memutuskan mengeluarkan SMI dari kabinet yang itu akan memicu arus modal asing keluar besar-besaran seperti yang terlihat pada hari Rabu," kata Macro Strategist Lionel Priyadi dan Ekonom Muhammad Haikal.
(rui)