Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ditengarai telah memberikan persetujuan atas studi kelayakan teknis dan ekonomi kepada Nickel Industries Ltd, agar investor asing itu dapat mengerek signifikan produksi bijih nikel perseroan di Morowali.

Surat persetujuan feasibility studies (FS) tersebut diberikan selaras dengan rencana peningkatan produksi di tambang Hengjaya, Morowali, Sulawesi Tengah; agar korporasi Australia—yang dibeking China — itu dapat meningkatkan penjualan bijih nikelnya dari 9 juta ton basah atau wet metric tons (wmt) menjadi 19 juta wmt per tahun.

Nickel Industries sendiri merupakan pemilik 80% wilayah tambang PT Hengjaya Nickel Industry yang berlokasi di Blok Tangofa tersebut.

Pertambangan nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah./Bloomberg-Dimas Ardian

Managing Director Nickel Industries Justin Werner mengonfirmasi, setelah FS disetujui Kementerian ESDM, perseroan bakal segera mengajukan studi analisis dampak lingkungan (Amdal), yang merupakan syarat untuk bisa mendapatkan tambahan kuota produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) perusahaan.

Tidak dijelaskan berapa RKAB nikel eksisting yang dimiliki oleh Nickel Industries saat ini, serta rencana kenaikan produksi dalam revisi RKAB tersebut.

“Persetujuan studi kelayakan kami menandai tonggak penting menuju perolehan persetujuan untuk meningkatkan penjualan bijih tambang Hengjaya dari 9 juta wmt menjadi 19 juta wmt per tahun,” kata Werner melalui pernyataan resmi yang diterima Bloomberg Technoz, Rabu (19/3/2025).

Werner mengatakan Nickel Industries optimistis studi Amdal akan disetujui Pemerintah Indonesia pada semester II-2025, mengingat baiknya catatan ESG dan keberlanjutan di tambang Hengjaya yang dioperasikan perusahaan.

“Kami tetap yakin akan menerima semua persetujuan pada paruh kedua 2025, yang akan bertepatan dengan komisioning proyek ENC HPAL kami. Perekonomian tambang Hengjaya saat ini sangat kuat, menghasilkan EBITDA US$101 juta dari penjualan 9 juta wmt pada 2024, dengan sekitar 65% diatribusikan pada paruh kedua tahun ini,” terangnya. 

Siapa Nickel Industries?

Nickel Industries merupakan perusahaan nikel berbasis di Sydney, Australia yang pemegang saham terbesarnya adalah Tsingshan Holding Group Co — raksasa nikel dan baja nirkarat (stainless steel) terbesar di dunia asal China.

Melalui Shanghai Decent Investment Group Co Ltd, Tsingshan memegang sekitar 22,68% saham Nickel Industries. Pemegang saham lainnya mencakup PT United Tractors Tbk (UNTR) (19,98%), L1 Capital Pty Ltd (5,73%), PT Karunia Bara Perkasa (4,31%), dan BlackRock Investment Management Ltd (3,43%). 

Perusahaan ini diam-diam telah menjadi kekuatan di balik pesatnya pertumbuhan perusahaan nikel Negeri Kanguru yang menambang di Indonesia. 

Dengan memanfaatkan booming sektor nikel di Indonesia serta ditopang investasi China, Nickel Industries memiliki saham di lima pabrik di Indonesia yang menghasilkan lebih banyak nikel dibandingkan dengan pesaing di negara asalnya seperti BHP Group Ltd.

Saat ini, Nickel Industries menjelma dari perusahaan Australia yang kurang dikenal menjadi representasi wajah Barat pada gurita industri nikel China.

Berkat Tsingshan, Nickel Industries berkembang dari penambang yang relatif kecil menjadi produsen logam terbesar keenam di dunia. 

Tsingshan—perusahaan yang dimiliki oleh miliarder China, Xiang Guangda — juga telah membangun pabrik peleburan (smelter) bagi perusahaan Australia tersebut dengan kecepatan dan biaya yang mengungguli para pesaingnya.

Sebagai imbalannya, Nickel Industries memberikan Tsingshan—yang sangat bergantung pada pasar China — akses ke investor Barat.

Hal ini pun dimanfaatkan oleh perusahaan China untuk mendapatkan kembali modal yang telah dikucurkan ke Indonesia dan meraih peluang bagi China untuk masuk ke pasar kendaraan listrik AS melalui ‘pintu belakang’

“Mereka menyadari bahwa mereka harus mampu menjual ke pasar lain. Mereka ingin bisa mengatakan bahwa yang keluar bukan produk China,” kata Angela Durrant, analis logam dasar utama di konsultan CRU Group, dikutip Bloomberg, April 2024. 

Valuasi Nickel Industries Ltd/dok. Bloomberg

Relasi Dilematis

Di sisi lain, menurut analisis Bloomberg, hubungan Nickel Industries dengan Tsingshan sebenarnya bak pedang bermata dua.

Meskipun perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh Tsingshan mendominasi hilirisasi nikel di Indonesia, beberapa perusahaan dan investor Barat khawatir ini akan menimbulkan ketergantungan pada korporasi China.

Di luar ketegangan geopolitik antara Beijing dan Washington, banyak perusahaan masih melihat Indonesia, yang menyumbang lebih dari setengah produksi nikel global, sebagai tempat yang berisiko untuk berinvestasi.

Hal ini sebagian akibat sejarah masa lampau di mana investor asing kerap kehilangan kendali atas aset di negara ini atau tiba-tiba terkena larangan ekspor komoditas mentah, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Ada pula kekhawatiran mengenai meluasnya penggunaan batu bara, kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan kecelakaan industri yang sering fatal di sektor nikel Indonesia. 

“Ada skeptisisme karena kami mendapat pukulan ganda karena berada di Indonesia dengan mitra China,” kata Werner dalam sebuah wawancara, Maret tahun lalu.

Namun, tanpa Tsingshan, Nickel Industries tidak akan berada di posisinya saat ini.

Perusahaan yang bermarkas di Sydney ini menginisiasi aktivitasnya di Indonesia dengan memulai pertambangan di tempat, yang saat itu merupakan cadangan nikel terpencil di Sulawesi, sebelah timur Kalimantan.

Namun, perusahaan terpaksa menghentikan operasinya ketika pemerintah melarang ekspor bijih mentah untuk mendukung industri peleburan dalam negeri pada 2014.

Pada saat itu, Tsingshan sedang membangun beberapa pabrik peleburan nikel pertama di Indonesia yang terletak hanya beberapa mil jauhnya, tetapi mengalami kesulitan membeli saham di tambang terdekat, menurut seseorang yang dekat dengan perusahaan tersebut.

Tsingshan Holding Group Co (Dok: Bloomberg)

Raksasa nikel China ini mulai membeli bijih perusahaan Australia tersebut — sebelum mengambil 20% sahamnya seharga US$26 juta pada 2018. “Itulah asal mula hubungan ini,” kata Werner, dikutip Bloomberg. “Itu bukan perencanaan besar kami, hanya kebetulan.”

Nickel Industries menggunakan dana tersebut dan dana lainnya untuk membeli 25% kepemilikan di dua jalur peleburan nikel yang sedang dibangun Tsingshan di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Sejak kedatangannya di Indonesia 15 tahun yang lalu, Tsingshan telah memelopori gelombang investasi China senilai lebih dari US$30 miliar di industri smelter nikel.

Upaya tersebut dipusatkan pada kawasan industri besar seperti IMIP, yang telah membantu lonjakan ekspor Indonesia dan pembangunan pabrik high-pressure acid leach (HPAL) yang menghasilkan nikel untuk sektor baterai.

Peningkatan produksi ini memicu anjloknya harga nikel pada 2023, sehingga memaksa beberapa penambang di negara lain mempertimbangkan penutupan untuk selamanya.

Namun, berkat skala ekonomi, tenaga kerja murah dan batu bara, pabrik peleburan di dalam kawasan seperti IMIP tetap beroperasi. Pabrik tersebut termasuk empat pabrik yang mayoritas dimiliki oleh Nickel Industries yang dibangun oleh Tsingshan.

Konglomerat baja nirkarat tersebut telah menggunakan perusahaan Australia untuk mendiversifikasi investor yang terlibat di kawasan industri dan mengurangi konsentrasi risiko di sana, menurut seseorang yang mengetahui hal tersebut, sambil tetap mempertahankan pengaruhnya dengan memegang 23% saham perusahaan tersebut.

“Hubungan ini bersifat sepihak, tetapi menurut saya itulah yang harus mereka lakukan agar dapat beroperasi di Indonesia,” kata analis CRU, Durrant.

Meskipun kerja sama dengan China telah menjadi berkah bagi Nickel Industries sejauh ini, terdapat risiko penurunan yang jelas. Sebab, sejak didirikan, IMIP telah menjadi tempat terjadinya sejumlah kecelakaan industri. 

Akses Pasar AS

Keterlibatan Tsingshan juga berpotensi menjadi hambatan untuk Nickel Industries mengakses pasar yang berkembang pesat, Amerika Serikat (AS).

Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau inflation Reduction Act (IRA) yang dikeluarkan pada era pemerintahan Joe Biden menawarkan subsidi yang besar untuk kendaraan listrik, asalkan kendaraan tersebut hanya mengandung sedikit komponen dari perusahaan China.

CEO Werner mengatakan dia berharap pabrik HPAL yang baru dapat membantu mengubah hal tersebut ketika mulai beroperasi tahun depan, setelah itu Tsingshan akan menjual sebagian sahamnya kepada investor baru untuk memenuhi persyaratan IRA.

Pembangunan pabrik HPAL—oleh Tsingshan — baru saja dimulai. Bahkan, tidak ada jalan beraspal menuju lokasi tersebut. Namun, setelah hampir satu dekade bermitra dengan perusahaan China, Werner menunjukkan kepercayaan diri. “Semua yang China katakan akan mereka lakukan, telah mereka laksanakan,” katanya.

(wdh)

No more pages