Bloomberg Technoz, Jakarta – Terlambatnya implementasi standar emisi Euro 4 terhadap bahan bakar minyak (BBM) Pertamina dinilai lebih disebabkan oleh kurangnya koordinasi di tingkat kementerian/lembaga (K/L) serta sulitnya pendanaan kilang untuk bisa memproduksi bahan bakar rendah emisi.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin mengatakan kebijakan mengenai implementasi BBM Euro 4 membutuhkan kemauan politik yang kuat antar-K/L.
Dalam artian, penerapan BBM Euro 4 tidak bisa hanya sekadar berlandaskan aturan kriteria bahan bakar rendah emisi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Masih ada mismatch antara harapan KLH terhadap standar emisi gas buang kendaraan tertentu dengan industri dan keberadaan BBM-nya sendiri. Jadi kalau misalnya ini [Euro 4 diterapkan], kita masih perlu edukasi,” ujarnya dalam diskusi Implementasi Kebijakan BBM Euro 4-6: Siapkah kita?, dikutip Rabu (19/3/2025).

Rachmat—yang pernah bertugas sebagai Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) — mengatakan pemerintah harus kompak terkait dengan keinginan untuk mengikuti aturan lingkungan mengenai BBM standar Euro 4.
Selanjutnya, kata Rachmat, PT Pertamina (Persero) juga harus serius memproduksi dan menyediakan BBM ramah lingkungan. Terlebih, saat ini sebagian besar dari enam kilang yang dioperasikan Pertamina masih memiliki keterbatasan dalam mengolah minyak menjadi BBM standar Euro 4.
Belum lagi, lanjutnya, Pertamina masih merupakan importir bersih (net importer) minyak mentah. Jika dituntut memproduksi BBM Euro 4, perseroan pun harus menanggung biaya investasi dan ongkos produksi lebih tinggi.
Bantuan Investasi
Untuk itu, Rachmat berpendapat Pertamina memerlukan dorongan untuk mendapatkan investasi di sektor kilang agar dapat mempercepat produksi BBM standar Euro 4, yang notabene ditargetkan berlaku penuh pada 2028 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ke depannya, alokasi subsidi dan kompensasi untuk BBM juga dinilai perlu mengalami pergeseran. Dia menyarankan agar subsidi atau kompensasi diberikan kepada BBM dengan research octane number (RON) yang lebih tinggi.
“Kalau misalnya hari ini BBM yang disubsidi itu Pertalite RON 90 dengan kandungan sulfur 50 ppm [parts per million], mungkin ke depan bisa jadi [yang disubsidi adalah BBM] RON 92 sulfur 50 ppm,” ujarnya.
“Ya tentunya [perhitungan] biayanya akan berbeda dan pemerintah harus memberikan insentif. Ini adalah domain Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN sebenarnya.”
Sekadar catatan, Kementerian ESDM mencanangkan agar implementasi standar emisi Euro 4 terhadap seluruh BBM yang beredar di Indonesia dilakukan bertahap.
Realisasi BBM solar rendah sulfur 50 ppm untuk wilayah Jakarta ditargetkan mencapai 100% pada 2025, sedangkan secara total di tingkat nasional berada di angka 32,9%.
Pada 2026, wilayah lain seperti Sulawesi Barat juga ditargetkan mencapai 100%; Maluku 100%; Papua 100%; dan Papua Barat 100%. Sementara itu, total nasional pada tahun tersebut diharapkan meningkat menjadi 44,3%.
Adapun, peredaran solar atau diesel Euro 4 pada 2027 diproyeksikan mencapai 70,6% untuk tingkat nasional, sebelum akhirnya mencapai 100% pada 2028.
Untuk bensin, standar Euro 4 ditargetkan mencapai 62,1% di tingkat nasional pada 2025, lalu naik menjadi 78,8% pada 2027, dan mencapai 100% pada 2028.

Usulkan PMN
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang digelar IESR akhir November, PT Pertamina Kilang Internasional (KPI) pernah mengakui penerapan standar emisi Euro 4 di Indonesia berjalan lambat akibat sulitnya pendanaan kilang untuk memproduksi BBM rendah sulfur.
Analis Senior III Perencanaan Strategis RDMP Pertamina Kilang Internasional Yesay Setiawan tidak menampik perseroan memang tertantang, dari sisi pendanaan hingga bentuk kerja sama, dalam memproduksi BBM berkualifikasi kontaminan 50 ppm.
“Sampai saat ini sebenarnya pendanaan itu juga masih menantang buat kami. Dari sisi pendanaan, memang kita ada beberapa skenario sebenarnya. Skenario full equity, strategic partner, debt, dan debt equity,” ujar Yesay dalam diskusi Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM.
Menurut Yesay, perusahaan juga membandingkan rasio keuangan Pertamina sebagai holding dan KPI sebagai subholding secara entitas. Di sisi lain, ketika hendak berutang kepada lembaga keuangan, KPI juga harus memperhatikan rasio keuangannya sendiri.
“Kalau rasio kita merah, mereka [perbankan] juga enggak mau memberi pinjaman ke kita. Salah satu [opsi pendanaan lainnya] adalah penyertaan modal negara [PMN] melalui KPI ke subholding. Itu juga merupakan salah satu jalan keluar juga sih sebenarnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menyebut investasi yang dibutuhkan untuk empat kilang Pertamina yang dirancang bisa menghasilkan BBM standar Euro 4 diperkirakan mencapai sekitar US$2 milair—US$3 miliar (sekitar Rp31,71 triliun—Rp47,56 triliun).
“Kalau investasi, disclaimer, sekitar US$2 miliar—US$3 miliar. Harga akhir [BBM Euro 4] di konsumen kita mau cari formulasinya, kompensasi harganya; seperti skenario Rp200—Rp500 per liter, range-nya segitu,” ujarnya.
Yesay tidak menampik, secara umum, standar kilang minyak di Indonesia masih menggunakan Euro 2 karena regulasi yang mengatur bahan bakar untuk dijual di dalam negeri belum ketat.
Hingga saat ini, KPI pun masih mempersiapkan sejumlah kilang yang nantinya bisa memproduksi BBM Euro 4, melalui pengembangan diesel hydrotreating (DHT) untuk menghasilkan solar rendah sulfur dan gasoline sulphur hydrotreater (GSH) untuk memproduksi bensin rendah sulfur.
Kilang-kilang yang akan dilengkapi dengan fasilitas DHT antara lain Kilang Balikpapan dan Cilacap, sedangkan yang akan menggunakan GSH adalah Kilang Plaju dan Balongan.
“Di Balikpapan juga ada 2 DHT besar-besar [dengan kapasitas] 150 million barrel stream per day [MBSD] sehari. Jadi mudah-mudahan pada 2025—2026 ini bisa online,” kata Yesay.
Untuk diketahui, Indonesia sebenarnya sudah harus mengimplementasikan BBM standar Euro 4 sejak 2018, selayaknya tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O.
Standar E4 yang diterapkan di RI mensyaratkan batas emisi karbon monoksida (CO) 1 gram/km, hidrokarbon (HC) 0,1 gram/km, dan nitrogen oksida 0,08 gram/km untuk mesin bensin.
Selanjutnya, spesifikasi BBM dengan standar Euro 4 adalah memiliki RON minimal 91, bebas timbal, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Namun, BBM dengan RON 90 seperti Pertalite dan Revvo 90 masih beredar dan dijual di Indonesia.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)