Bloomberg Technoz, Jakarta - Pasar keuangan domestik masih dibayangi oleh kewaspadaan para pelaku pasar akan berlanjutnya tekanan jual, seperti yang terlihat secara dramatis di pasar saham Selasa lalu.
Dalam apa yang disebut 'Black Tuesday', Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terbenam hingga 7% dan akhirnya sempat disuspensi perdagangannya. Hari itu, IHSG ditutup turun lebih dari 3% di kala mayoritas bursa di kawasan Asia mencatat penguatan.
Pada perdagangan hari ini, IHSG bergerak fluktuatif. Setelah dibuka melemah, indeks berhasil berbalik arah dan saat ini bergerak di kisaran 6.241. Posisi itu sudah terpangkas 21% dari level rekor tertinggi yang pernah pecah pada 19 September lalu.
Walau pagi ini tekanan jual terlihat mereda, akan tetapi agak sulit berharap IHSG bisa memasuki tren reli lebih panjang. Terutama menjelang libur panjang Lebaran yang berlangsung mulai 28 Maret sampai 4 April atau selama enam hari perdagangan.
Bagi para investor, situasi pasar yang masih berada dalam tren bearish ketika ketidakpastian masih besar baik di lingkup global serta domestik, apa pilihan terbaik agar kerugian tidak makin dalam?

Ketika pasar modal RI libur panjang Lebaran, pasar regional dan global tetap aktif dibuka. Berkaca dari libur panjang tahun-tahun sebelumnya, beberapa kali gejolak pasar global terjadi di kala pasar RI masih tutup. Tak ayal, begitu dibuka mengakhiri libur panjang, aksi jual langsung membesar.
Contoh ekstrem adalah yang pernah terjadi pada Lebaran 2008. Kala itu, pasar finansial global dihantam krisis besar yang berepisentrum di Amerika Serikat, menyusul bangkrutnya Lehman Brothers pada September 2008.
Pada tahun itu, Lebaran jatuh pada 1-2 Oktober 2008. Pasar keuangan RI libur selama empat hari perdagangan dan baru buka lagi pada 6 Oktober. Ketika pasar dibuka usai libur Lebaran, IHSG langsung anjlok 10% hari itu juga, terburuk sejak kejadian serangan teroris 'Bom Bali' pada 2002.
Tahun lalu, begitu bursa saham dibuka usai libur panjang lebaran, IHSG juga ambles 1,7% pada hari pertama dibuka. Namun, pada Lebaran 2023, IHSG dibuka melonjak naik usai libur panjang Idulfitri dengan kenaikan 1,3% kala itu.
Lebaran tahun ini, ketika pasar keuangan diliburkan, terdapat beberapa rilis data ekonomi penting AS yang sudah dijadwalkan dan dipastikan akan berdampak juga pada pergerakan pasar.
Mengutip Bloomberg, pada 28 Maret hingga 4 April 2025, beberapa data ekonomi AS akan dirilis, di antaranya, laporan pendapatan serta konsumsi masyarakat AS (Personal Consumption Expenditure), termasuk inflasi PCE yang menjadi acuan favorit Federal Reserve, bank sentral AS, dalam menentukan kebijakan bunga acuan.
Setelah laporan PCE, pada periode tersebut, otoritas AS juga akan merilis laporan pekerjaan, termasuk angka pengangguran dan rekrutmen (NonFarm Payroll) untuk bulan Maret.

Data aktivitas manufaktur beberapa negara juga akan dirilis pada periode tersebut, termasuk AS dan China. Sementara sebagian besar negara Zona Euro akan merilis data inflasi berikut laporan pekerjaan.
Perlu juga dicatat bahwa 2 April merupakan tenggat waktu pemberlakuan tarif impor AS pada Kanada dan Meksiko, sebagaimana pernah dilansir oleh Presiden AS Donald Trump. Begitu juga penerapan tarif baja dan alumunium serta otomotif yang ditujukan pada Uni Eropa. Uni Eropa sudah berencana membalas tarif bagi produk AS pada 13 April nanti.
Bisa disimpulkan, selama periode libur Lebaran nanti, pasar global akan cukup dinamis dan akan membawa dampak tidak kecil terhadap pergerakan pasar dalam negeri setelah libur usai nanti.
'Cash is the King'
Melihat situasi keseluruhan pasar yang sepertinya belum memberikan titik cerah, mengamankan portofolio agar terhindar dari 'kejutan' pasca libur berakhir, sepertinya menjadi pilihan aman.

"Biasanya kalau libur panjang, investor yang biasa trading, mereka memilih memperbanyak posisi cash dulu untuk mengurangi risiko ketidakpastian di pasar selama masa liburan," kata Andrey Wijaya, analis RHB Sekuritas.
Di tengah harga saham-saham yang sudah berjatuhan dan menyentuh valuasi seperti di kala pandemi pecah lima tahun lalu, ada juga saran untuk menyicil pembelian ekuitas sebagai bagian dari average down dan jelang pembagian dividen dalam waktu dekat.
Baca juga: Mengukur Keamanan Investasi di Surat Utang Negara RI
"Silakan masuk sedikit untuk saham-saham yang kinerja keuangan tahun lalu lebih baik daripada sebelumnya yang akan memberikan dividen dengan payout ratio besar," kata pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy.
Mengalihkan dana di instrumen berpendapatan tetap seperti Surat Berharga Negara (SBN) juga bisa jadi pilihan. Terutama untuk SBN yang tingkat imbal hasilnya sudah di atas 7% saat ini. "Sisanya tetap [simpan] sebagai dana tunai untuk berjaga-jaga," kata Budi.
Yield SBN untuk tenor pendek saat ini masih di kisaran 6,601% untuk tenor 2 tahun. Sedangkan yield di atas 7% dicatat oleh SBN tenor 10 tahun ke atas. Tertinggi adalah tingkat imbal hasil SBN 16Y sebesar 7,134%.
Emas Jadi 'Safe Haven'
Pilihan lain juga bisa dipertimbangkan seperti masuk ke reksa dana pasar uang yang cukup likuid dengan imbal hasil di kisaran 5%. Atau, para investor juga bisa mengikuti tren global belakangan yaitu memburu aset safe haven seperti emas.
Harga emas terus menerus memecahkan rekor tertinggi baru. Beberapa bank investasi global bahkan memprediksi harga emas akan melambung hingga ke level US$ 3.500 per troy ounce. Saat ini, harga emas sudah di US$ 3.036 per troy ounce. Artinya, ada peluang kenaikan sekitar 15% ke depan dari harga saat ini.
Lonjakan harga emas di pasar dunia telah mengungkit pula harga emas lokal. Banderol emas produksi PT Aneka Tambang Tbk berulang kali memperbarui rekor termahal sepanjang masa.
Selama Maret saja, harga emas Antam sudah naik Rp81.000 dengan hari ini dijual di harga Rp1.759.000 per gram, termahal sepanjang sejarah. Sedangkan harga buyback juga naik Rp80.000 selama bulan Maret ini, saat ini ditetapkan di Rp1.608.000 per gram, termahal juga sepanjang masa.
-- dengan bantuan Muhammad Fikri.
(rui/aji)