Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Pemerintah dalam berbagai kesempatan kembali menggaungkan niat untuk menghidupkan lagi ambisi hilirisasi batu bara melalui gasifikasi menjadi dimethyl ether (DME), kali ini dengan dibiayai oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

Proyek mercusuar tersebut padahal sebelumnya sudah gagal pada era Presiden Joko Widodo. Investor dari Amerika Serikat (AS), Air Products & Chemicals, Inc (APCI), hengkang pada 2023 dari proyek DME batu bara yang dipenggawai oleh PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA).

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui, untuk bisa sukses menjadikan produk DME sebagai substitusi gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG), terdapat tiga komponen yang wajib terpenuhi. 

Pertama, harga batu bara. Kedua, proses penghiliran. Ketiga, offtaker atau pembeli DME.

Tri menyebut proses hilirisasi oleh PTBA dengan bantuan investasi dari APCI saat itu tidak dapat 'diganggu gugat' karena harga sudah ditetapkan. Hal yang sama juga terjadi pada PT Pertamina (Persero) selaku offtaker.  Dengan demikian, pemerintah saat itu hanya bisa mengutak-atik harga batu bara yang diproduksi PTBA. 

Aktivitas pengangkutan batu bara lewat jalur kereta api PT Bukit Asam Tbk (Dok PTBA.co.id)

Akan tetapi, bahan baku yang digunakan untuk diproses menjadi DME merupakan batu bara dengan kandungan kalori yang baik sehingga biaya yang dibutuhkan cukup tinggi.

“Mau tidak mau, suka atau tidak suka, [komponen] yang digeser hanya satu yaitu harga batu bara. Harga batu bara bahkan sampai minimal di angka minimum sampai kemungkinan perusahaan itu rugi keluarlah usulan untuk perpres penugasan dan lain sebagainya,” kata Tri di agenda Mining Forum 2025, dikutip Rabu (19/3/2025).

Tri mengatakan hingga saat ini perusahaan yang sudah relatif siap atau mumpuni untuk menggawangi proyek DME batu bara di Indonesia hanya PTBA. 

Presiden Jokowi pada 24 Januari 2022 sudah pernah melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking proyek DME yang terletak di Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.

“[Perusahaan] yang mungkin sudah advance sekali untuk mencoba DME ini saya rasa baru satu, PTBA. Perusahaan yang lain belum ada. Peletakan batu pertama sudah pernah dilakukan 2022 meskipun peletakan batu kedua belum sampai sekarang. Akan tetapi, paling tidak semangatnya untuk itu sudah ada,” ujar Tri.

Tri menuturkan tujuan pemerintah melaksanakan DME saat itu yakni untuk industrialisasi dan energi bersih. Nilai investasinya mencapai US$1,3 hingga US$1,8 miliar.

Dia menyebut pemerintah berkeras agar program gasifikasi batu bara dapat tereksekusi, sebagai salah satu upaya agar Indonesia keluar dari jebakan kelas menengah untuk menjadi negara maju pada 2045.

“Salah satu cara untuk keluar dari middle income trap memanfaatkan industrialisasi adalah hilirisasi. Salah satu hilirisasi yakni gasifikasi [batu bara menjadi] DME,” ujarnya.

Target Investasi

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu memaparkan potensi investasi dari proyek hilirisasi batu bara sepanjang 2023—2040 mencapai US$31,82 miliar (sekitar Rp522,64 triliun).

Todotua membenarkan, konsep hilirisasi batu bara yang akan menjadi fokus pemerintah adalah coal regasification yang akan mengubah bentuk batu bara itu sendiri menjadi produk gas, seperti DME.

Proyek ini, lanjutnya, juga akan menjembatani permasalahan optimasi tambang batu bara di dalam negeri, yang kebanyakan berlokasi di kawasan terpencil atau sulit dijangkau.

Hilirisasi batu bara di Indonesia juga diyakininya akan membuka 23.160 serapan tenaga kerja, meningkatkan ekspor senilai US$11,3 miliar, dan memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sejumlah US$2,26 miliar.

Aktivitas bongkar muat komoditas batu bara PT Bukit Asam Tbk (Dok PTBA.co.id)

Todotua mengelaborasi proyek hilirisasi batu bara sebagian akan dibiayai oleh Danantara. Selain untuk gasifikasi menjadi DME, proyek lainnya adalah hilirisasi batu bara menjadi metanol dan amonia.

Untuk gasifikasi menjadi DME, lanjutnya, pemerintah bertujuan mensubstitusi LPG yang selama ini banyak didatangkan dari impor dengan nilai rata-rata Rp7 triliun per tahun.

“Diharapkan, bila program ini bisa terlaksana, kita bisa mengurangi impor LPG ke depannya,” ujar Todotua.

Sementara itu, untuk metanol, sudah ada beberapa korporasi batu bara nasional yang berkomitmen mengembangkan hilirisasi batu bara menjadi produk bahan baku biofuel tersebut. 

“Metanol kita masih mengimpor 1,8 juta ton per tahun. Pada Januari, Kementerian ESDM sudah menaikkan standar biodiesel menjadi B40. Hitungan keuangan saya sih, apabila suplai metanol dalam negeri tidak berkembang, kita bisa akan impor 2,3—2,5 juta ton metanol per tahun. Sedangkan, metanol ini salah satu bahan yang dipakai untuk mengolah biofuel,” kata Todotua.

Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung pernah mengatakan proyek hilirisasi batu bara membutuhkan komitmen awal yang kuat, sehingga kegagalan seperti kerja sama PTBA dan APCI tidak terulang.

“Kami memastikan di awal. Jadi, kalau Air Products kemarin itu kan juga agak lama karena mereka minta ada jaminan penjualan pasokan. Pada saat mereka minta keputusan, kita agak terlambat. Jadi, kita tidak mau kehilangan momen,” ujar Yuliot ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (14/3/2025).

Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME pada tahap awal direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI, proyek itu mulanya digadang-gadang sanggup menghasilkan DME sekitar 1,4 juta ton per tahun dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun.

Namun, pada medio 2023, APCI hengkang dari proyek tersebut untuk fokus menggarap proyek hidrogen biru di AS. Keputusan hengkang tersebut lantas membuat kelanjutan nasib proyek gasifikasi batu bara menjadi DME terkatung-katung hingga saat ini.

Berbagai pakar menilai proyek DME batu bara tidak ekonomis jika ditujukan untuk menyubstitusi impor LPG, lantaran harga netback-nya tidak setara. Produk akhir DME dari gasifikasi batu bara dinilai terlalu mahal jika dibandingkan dengan harga LPG yang disokong oleh anggaran subsidi energi.

(wdh)

No more pages