Bloomberg Technoz, Jakarta – Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno memastikan rencana penyesuaian tarif royalti tidak akan berdampak pada tutupnya operasional tambang hingga memicu terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Pada akhirnya kami tidak ingin industri pertambangan ini akan tutup dengan adanya kenaikan dari royalti itu sendiri dan malah menimbulkan pengangguran,” kata Tri di agenda Mining Forum 2025, dikutip Rabu (19/3/2025).
Dia mengakui usulan kenaikan tarif royalti minerba masih perlu dievaluasi. Namun, dia menggarisbawahi sebelum menaikkan atau menurunkan tarif royalti, pemerintah telah mempertimbangkan banyak hal di antaranya persoalan laporan keuangan perusahaan.
“Pastilah kami [pertimbangkan] minimal data dan informasi terkait dengan laporan keuangan perusahaan [yang] kami bedah,” ujarnya.

Potensi penutupan operasional tambang dan gelombang PHK diungkapkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menuturkan tingginya kalkulasi biaya produksi imbas rencana kenaikan tarif royalti tersebut membuat pemegang izin usaha pertambangan (IUP) nikel memilih berhenti beroperasi.
Dalam revisi yang diusulkan Kementerian ESDM, besaran kenaikan tarif royalti bijih nikel direncanakan naik dari sebelumnya single tariff 10% menjadi tarif progresif mulai 14% hingga 19%.
"Kalau penerapan royalti 14%, ada beberapa IUP yang [berpotensi] sudahlah tutup saja, daripada produksi, rugi," kata Meidy dalam agenda diskusi Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, Senin (17/3/2025).
"Kalau ditetapkan royalti 14% saja, kalau 19% gimana ya? Apa tutup [tambang] ya? [Tarif] 14% saja, itu dia sudah minus. Artinya rugi."
Selain penutupan operasional, APNI juga memandang kenaikan tarif royalti memicu PHK massal akibat margin pengusaha tambang yang makin tergencet.
“Memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Meidy menyebut kenaikan royalti juga dapat mengurangi minat investasi di sektor hulu hingga hilir pertambangan mineral, khususnya nikel, serta menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global.
APNI melaporkan penambang saat ini telah banyak menanggung biaya operasi tambang yang makin meningkat signifikan, sementara harga nikel terus menurun sehingga margin perusahaan makin tergerus.
Tingginya beban yang ditanggung penambang, di antaranya disebabkan oleh kenaikan biaya biodiesel B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.
Selain itu, adanya penerapan global minimum tax (GMT) sebesar 15%, iuran tetap tahunan, serta pajak bumi bangunan (PBB) on shore dan tubuh bumi.
Di sisi lain, penambang juga memiliki kewajiban reklamasi pascatambang, iuran penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP PPKH), kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), program pemberdayaan masyarakat (PPM), dan investasi besar untuk membangun smelter.
(mfd/wdh)