Bloomberg Technoz, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan tetap menjaga dan memantau pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 dan sepanjang tahun, meski tidak menjelaskan proyeksinya.
Hal itu disampaikan untuk menanggapi laporan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,9%, dari perkiraan sebelumnya mencapai 5,2%, yang dirilis Desember 2024.
Proyeksi OECD itu di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar 5,2%.
Menurutnya, komponen pengeluaran untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga, baik dari konsumsi rumah tangga, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi dan ekspor barang dan jasa.
"Ini memberikan optimisme bahwa kuartal I tahun ini dari total permintaan agregat masih terjaga," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, kemarin.
Pertama, konsumsi rumah tangga. Menurutnya, inflasi yang rendah pada awal tahun menjaga konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi deflasi pada Februari 2025 mencapai 0,48% secara bulanan (month-to-month/mtm). Selain itu, Indonesia terjadi deflasi 0,09% secara tahunan (year-on-year/yoy), dan deflasi 1,24% dalam perhitungan tahun kalender (year-to-date/ytd).
Sri Mulyani kembali menggarisbawahi inflasi yang rendah terjadi karena harga yang menurun melalui tiket pesawat, tarif listrik hingga makanan dan minuman.
"[Deflasi] bukan karena daya beli itu krn kebijakan intervensi pemerintah. Sehingga ini diharapkan bisa menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.
Ekonomi Indonesia yang tumbuh melambat sepanjang 2024 sebesar 5,03% masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Hal ini tercermin dari masih tinggi porsi pengeluaran rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi.
BPS melaporkan sepanjang 2024 seluruh komponen pengeluaran mengalami pertumbuhan positif. Komponen dengan distribusi terbesar adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi 54,04% atau tumbuh 4,94%.
Kedua, PMTB atau investasi. Dengan kondisi Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia yang berada pada level ekspansif sebesar 53,6 per Februari 2025, Sri Mulyani berharap, investasi menjadi naik. Terlebih, PMI menggambarkan kegiatan ekonomi melalui manufaktur seperti jumlah pasokan, permintaan dan ekspor.
"Pertumbuhan kredit masih cukup bagus dan kita berharap kegiatan terutama manufaktur ekspansi di bidang pangan menciptakan investasi-investasi baru," ujarnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan perbankan telah menyalurkan kredit sebesar Rp7.782 triliun pada Januari 2025 atau tumbuh 10,27% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dibanding kinerja kredit pada Januari 2024 yang tumbuh mencapai 11,83%.
Terakhir, ekspor. Sri Mulyani menggarisbawahi kondisi neraca perdagangan Indonesia yang masih mengalami surplus selama 58 bulan beruntun. Selain itu, surplus tersebut masih tumbuh 2,28% secara tahunan (year-on-year), meski melambat 0,38% secara bulanan (month-to-month).
"Neraca perdagangan positif di tengah gonjangan, semua negara membuat halangan perdagangan dengan menaikan tarif, kemudian banyak lembaga internasional membuat prediksi ekonomi melemah," ujarnya.
Berdasarkan laporan interim Prospek Ekonomi OECD bertajuk ‘Steering Through Uncertainty’, lembaga internasional ini juga menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 menjadi hanya 5%, dari proyeksi yang diterbitkan pada Desember 2024, yakni bisa berada di level 5,1%.
"Pertumbuhan ekonomi di negara-negara G20 yang sedang berkembang secara umum diproyeksikan melambat. Ekonomi China diperkirakan tumbuh 4,8% pada 2025, karena dampak negatif tarif sebagian besar diimbangi oleh dukungan kebijakan yang lebih kuat, sebelum melambat menjadi 4,4% pada 2026," demikian tertulis dalam laporan OECD, dikutip Rabu (19/3/2025).
Kendati demikian, OECD menilai perlambatan tersebut diproyeksikan tidak terlalu terasa di India dan Indonesia, dengan kedua ekonomi tersebut mengalami beberapa dukungan untuk pertumbuhan ekspor.
"Karena mereka menarik bisnis baru yang dialihkan dari negara-negara pengekspor yang menghadapi kenaikan tarif yang lebih tajam," tercantum dalam dokumen.
(ain)