Semestinya, lanjut Satria, bahkan BI memang sudah bisa turun bulan lalu. Berbagai indikator seperti imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) hingga kurs dolar AS yang melemah membuat BI akan lebih nyaman dalam menurunkan BI Rate.
“Kondisi Februari lebih stabil ketimbang Januari, yang mana BI malah menurunkan suku bunga saat rupiah tertekan. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) melemah cukup dalam sejak BI Rate turun pada Januari,” tambah Satria.

Menurut Satria, menjadi membingungkan atas dasar apa BI membuat kebijakan moneter. Sebab data yang ada ternyata belum tentu menjadi patokan,
“Waktu penurunan suku bunga acuan bulan lalu sudah tepat, tetapi BI malah menurunkannya saat rupiah sedang tertekan pada Januari. Ini menciptakan ketidakpastian tentang apa saja yang mendasari BI dalam menentukan kebijakan moneter,” tegas Satria.
Oleh karena itu, demikian Satria, Bahana Sekuritas memperkirakan BI Rate akan bertahan di 5,75% sepanjang 2025. Namun dengan minimnya arah dan panduan dari BI, penurunan atau bahkan kenaikan bisa saja terjadi.
Inflasi dan Rupiah
Sementara itu, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky dalam risetnya menulis BI Rate semestinya ditahan 5,75% pada bulan ini. Sebab, 2 indikator utama yaitu inflasi dan perkembangan nilai tukar rupiah perlu menjadi perhatian.
“Inflasi domestik masih di bawah target BI,” ujar Riefky.
Pada Februari, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi deflasi 0,09% year-on-year (yoy). Ini menjadi deflasi tahunan pertama sejak 2000. Inflasi pun masih jauh di bawah target BI yaitu 1,5-3,5% untuk 2025.
Ke depan, terutama bulan ini, memang ada risiko percepatan laju inflasi karena momentum Ramadan-Idul Fitri yang menjadi puncak konsumsi masyarakat Ibu Pertiwi. Ditambah lagi insentif diskon tarif listrik sudah tidak ada.
Namun, percepatan laju inflasi ini tidak bertahan lama. Inflasi akan kembali mengarah ke target BI dalam beberapa bulan ke depan.

Sementara faktor rupiah sepertinya harus menjadi perhatian tersendiri. Sebab, mata uang Tanah Air kini sedang dalam tren pelemahan.
“Secara year-to-date, rupiah menjadi yang terlemah di antara mata uang negara-negara emerging markets. Hanya lebih baik ketimbang lira Turki, peso Argentina, dan rupee India,” ungkap Riefky.
Kebetulan keputusan BI Rate hanya berselang hitungan jam dari pengumuman suku bunga acuan oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve. Pasar memperkirakan Federal Funds Rate bertahan di 4,25-4,5%. Mengutip CME FedWatch, peluangnya adalah 100%.
“Keputusan The Fed diumumkan tidak jauh setelah RDG BI, dan pasar memperkirakan Federal Funds Rate ditahan, Jika BI Rate turun, maka tekanan terhadap rupiah akan lebih berat.
“Oleh karena itu, kamu menilai BI perlu mengedepankan perspektif stabilitas. Ini ditempuh dengan mempertahankan BI Rate di 5,75% dalam RDG Maret,” jelas Riefky.
(aji)