Logo Bloomberg Technoz

1.⁠ ⁠Pajak dikenakan atas penghasilan bruto, bukan penghasilan riil yang diterima dokter. Dalam praktiknya, dokter hanya menerima bagian dari tarif jasa medis karena harus berbagi dengan rumah sakit, namun pajak tetap dihitung dari penghasilan bruto yang dibayarkan pasien. 

2.⁠ ⁠Efek progresif yang berlebihan bagi dokter. Pemotongan pajak yang didasarkan pada penghasilan bruto menyebabkan dokter yang mendapatkan honorarium dari berbagai sumber (termasuk dari seminar, pelatihan, atau jasa konsultasi lainnya) terkena pajak progresif lebih tinggi.

Ini berpotensi membuat dokter harus membayar pajak tambahan 5% hingga 30% dari pendapatan riil yang mereka terima, yang pada akhirnya semakin memberatkan.

3.⁠ ⁠Mayoritas dokter yang terdampak adalah dokter yang melayani pasien JKN. Sebagian besar dokter anak dirumah sakit melayani pasien JKN yang menggunakan tarif standar yang ditetapkan 

pemerintah. Jika pajak tetap dikenakan atas penghasilan bruto, bukan netto yang diterima, maka beban pajak yang tinggi ini bisa menurunkan minat dokter untuk terus melayani pasien JKN.

Pajak ini menyerupai pajak perusahaan, bukan pajak perorangan. Dalam sistem perpajakan, perusahaan membayar pajak dari laba bersih setelah dikurangi biaya operasional. Namun, dalam 

kebijakan ini, dokter dikenakan pajak seolah-olah mereka adalah perusahaan, di mana pajak dikenakan atas omset (penghasilan bruto), bukan laba bersih.

4.⁠ ⁠Seruan Penundaan Pelaporan Pajak Tahun 2024. Sebagai bentuk protes atas kebijakan ini, kami mengusulkan penundaan pelaporan pajak tahun 2024 bagi dokter spesialis anak hingga adanya diskusi dan keputusan yang lebih adil dari Kementerian Keuangan. 

"Kami berharap Kementerian Keuangan dapat segera menanggapi surat ini dan membuka ruang dialog 

dengan PP IDAI. Kami juga memohon perhatian dari Presiden Republik Indonesia dan DPR RI untuk 

turut mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap layanan kesehatan di Indonesia,"imbuhnya.

(dec/spt)

No more pages