Bloomberg Technoz, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menolak opsi peralihan program minyak goreng rakyat (MGR) Minyakita untuk digantikan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan mengatakan, program yang digagas oleh pada Juli 2022 tersebut bukan merupakan subsidi dari pemerintah melalui anggaran negara.
"Sampai sekarang belum [ada opsi menggantikan], ya. Karena Minyakita bukan subsidi," ujar Iqbal kepada wartawan di kantor Kemendag, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Padahal, Iqbal sebelumnya mengatakan Kemendag kan membuka potensi untuk mengubah program minyak goreng rakyat (MGR) atau MinyaKita menjadi skema BLT.
Potensi tersebut dilakukan merespons kalangan pengusaha imbas polemik minyak goreng murah gagasan pemerintah yang kerap menemui masalah belakangan ini.
"Kebijakan terus dievaluasi untuk menjaga relevansi," ujar Iqbal.
"Bisa demikian [diganti jadi BLT], bisa juga malah lebih diintensifkan," kata dia menegaskan.
Hanya saja, Iqbal mengatakan, pemerintah hingga saat ini masih terus berpedoman terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 18/2024 soal tata kelola minyak goreng rakyat, termasuk ketentuan domestic market obligation (DMO).
Sebelumnya, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan pemerintah untuk mengganti program MinyaKita menjadi skema bantuan langsung tunai (BLT), bersamaan dengan polemik minyak goreng murah gagasan pemerintah belakangan ini.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, program yang digagas Kementerian Perdagangan (Kemendag) era Zulkifli Hasan pada Juli 2022 lalu tersebut hingga saat ini tidak berjalan efektif dan juga menimbulkan distorsi pasar.
Dengan kata lain, hal tersebut, kata dia, sangat bertentangan dengan prinsip persaingan usaha atau kompetisi pasar yang sehat. Sejak diluncurkan saat itu hingga kini MinyaKita semakin mendominasi pasar.
"Model minyak goreng begini apa kita tetap pertahankan? Sudah mau empat tahun, waktu itu 2022, 2023, 2024, dan sekarang 2025. Ini sudah menyalahkan regulasi. [...] Jadi sudah tidak ada kompetisi," ujarnya, belum lama ini.
"Pembagiannya itu jangan berupa produk [seperti MinyaKita], lebih baik BLT, jadi Bantuan Langsung Tunai," imbuhnya menegaskan.
Sahat juga turut menyinggung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menekankan pentingnya kompetisi pasar. Ini juga sejalan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Meski tujuan peluncuran MinyaKita untuk melakukan stabilisasi harga dan operasi di pasar, namun nyatanya harga minyak goreng dalam negeri kerap masih tinggi. Apalagi, kata Sahat, Indonesia juga merupakan negara produsen minyak sawit terbesar dunia.
"Ini sebuah ironi. Kita produsen terbesar, kenapa harga minyak goreng kita tinggi? Jadi kalau saya berpendapat, pemerintah yang harus membuat regulasi, bahwa produk minyak untuk domestik harusnya dibedakan dengan minyak untuk ekspor,” kata Sahat.
(ain)