Logo Bloomberg Technoz

“Untuk itu, sangat reasonable jika formula HPM bijih nikel juga memperhitungkan kandungan besi dan kobalt, selain nikel,” ujarnya.

Meidy menyebut selama periode 2020—2024 untuk bijih saprolit dengan kadar Ni 1,7% dan besi 20%, HPM bijih nikel dapat ditingkatkan dari 27,8% hingga 95,4%, dengan menambahkan nilai keekonomian mineral besi.

Angka ini diestimasikan dengan mengasumsikan corrective factor (CF) untuk besi sebesar 80%, karena sebagian besar bijih saprolit diolah dengan proses pirometalurgi yang mengekstrak sekitar 80% kandungan mineral besi dan memonetisasinya.

Sementara itu, selama periode 2020—2024, untuk bijih limonit dengan kadar Ni 1,7% dan kobalt 0,05%, HPM bijih nikel dapat ditingkatkan dari 44,9% hingga 106,5%, dengan menambahkan nilai keekonomian mineral kobalt.

Hal ini diperkirakan dengan mengasumsikan CF untuk kobalt sebesar 50%, karena sebagian besar bijih limonit diolah dengan proses hidrometalurgi yang mengekstrak paling kurang 50% kandungan mineral kobalt dan memonetisasinya.

Penerimaan Royalti

Meidy memaparkan dengan memperhitungkan kandungan besi dan kobalt dalam formula HPM bijih nikel, negara berpotensi mendapatkan royalti dari pertambangan nikel hingga Rp16,61 triliun dari sebelumnya Rp10,96 triliun pada 2024. 

Realisasi setoran royalti nikel di Indonesia./dok. APNI

Sebaliknya, dengan hanya menaikkan tarif royalti bijih nikel menjadi tarif progresif mulai 14% hingga 19%, negara hanya mendapatkan Rp15,53 triliun dari sebelumnya dari sebelumnya single tariff 10% sebesar Rp10,96 triliun.

Meidy menjelaskan sejumlah manfaat akan didapatkan pemerintah maupun penambang jika menyesuaikan formula HPM bijih nikel yakni meningkatnya pendapatan.

Dengan margin yang meningkat, perusahaan pertambangan dapat mengalokasikan lebih banyak dana untuk kegiatan eksplorasi dan masalah lingkungan.

“Revisi formula HPM yang memperluas margin produksi membuat penambang dapat memakai cut off grade yang rendah, sehingga jumlah cadangan dapat menjadi lebih besar,” ujarnya.

Cut off grade yakni kadar batas penambangan. Makin tinggi harga jual suatu mineral,  makin rendah pula  kadar batas penambangan (cut off grade) yang dapat diterapkan.

Dengan margin produksi yang besar, endapan berkadar rendah (yang cash cost-nya lebih tinggi) masih ekonomis untuk ditambang. Kemudian, cut off grade yang rendah membuat volume cadangan menjadi lebih besar secara eksponensial.

Kenaikan tarif royalti yang menekan margin produksi akan memaksa penambang meningkatkan cut off grade, sehingga volume cadangan akan menyusut signifikan. Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang, sehingga secara penerimaan negara secara jangka panjang justru akan berkurang.

Di sisi hilir, kata Meidy, harga pasar NPI dan produk smelter lainnya juga akan meningkat sebagai dampak kenaikan HPM bijih nikel, sehingga smelter tetap dapat mempertahankan margin keuntungan yang baik.

“Kenaikan harga NPI akan berdampak pada peningkatan nilai ekspor yang dapat mendongkrak surplus transaksi berjalan Indonesia,” terangnya.

Di sisi lain, valuasi kandungan besi dan kobalt dalam bijih nikel akan memicu perusahaan pertambangan untuk mengembangkan teknologi ekstraksi dan industri hilirisasi atas mineral ikutan tersebut.

(mfd/wdh)

No more pages