Bloomberg Technoz, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah dengan kehilangan 248,55 poin (3,84%) di 6.223,38 pada Selasa (18/3/2025) usai bergerak turun tajam hingga perdagangan di Bursa sempat harus dihentikan sementara (Trading Halt).
Pada perdagangan sepanjang hari IHSG bergerak terus melemah sejak pagi, rentang perdagangan terjadi 6.465,22 sampai dengan terendahnya 6.011,84 atau ambles mencapai 7,1% point to point.

Transaksi perdagangan saham sepanjang hari mencapai Rp19,29 triliun yang didominasi aksi jual dari sejumlah 29,5 miliar saham yang diperjualbelikan dengan frekuensi terbilang 1,54 juta kali.
Tercatat ada pelemahan 554 saham, dan sebanyak 118 saham menguat. Sisanya 139 saham stagnan.
Saham-saham teknologi, saham barang baku, dan saham energi menjadi pemberat IHSG hingga terbenam di zona merah dengan tertekan 9,76%, 5,99%, dan 3,42%, disusul oleh melemahnya saham properti sebesar 3,33%. Sedang, saham infrastruktur mengalami pelemahan 3,03%.
Sejumlah saham-saham teknologi yang menjadi pendorong pelemahan IHSG ialah, saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang ambles 20%, saham PT Digital Mediatama Maxima Tbk (DMMX) yang melemah 7,37%, dan saham PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) dengan tertekan 5,38%.
Senada, saham-saham LQ45 juga ambles hingga bergerak pada teritori negatif dan menjadi pemberat IHSG antara lain, saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) terpeleset 15,4%, dan saham PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) dengan pelemahan 8,22%.
IHSG menjadi sedikit dari sekian Bursa Asia yang menetap di zona merah, hanya indeks Ho Chi Minh Stock Index (Vietnam), dan PSEI (Filipina), yang melemah tipis masing-masing 0,4%, dan 0,3%.
Dengan demikian, IHSG adalah indeks dengan pelemahan terdalam nomor satu di Asia dan ASEAN, kala Bursa Asia lainnya melesat di zona hijau.
Sementara Bursa Saham Asia lainnya berhasil menutup hari di zona hijau i.a Hang Seng (Hong Kong), SENSEX (India), TOPIX (Jepang), NIKKEI 225 (Tokyo), KLCI (Malaysia), Straits Times (Singapura), TW Weighted Index (Taiwan), SETI (Thailand), Shenzhen Comp. (China), CSI 300 (China), Shanghai Composite (China), dan KOSPI (Korea Selatan), yang berhasil menguat dan melesat masing-masing 2,46%, 1,51%, 1,29%, 1,20%, 1,04%, 0,92%, 0,69%, 0,51%, 0,49%, 0,27%, 0,11%, dan 0,06%.

Koreksi tajam IHSG terjadi di tengah sentimen net sell investor asing yang sangat masif di pasar saham mencapai Rp24 triliun di sepanjang tahun 2025. Dan belum ada tanda pembalikan ke arah positif.
Analis Mirae Asset Sekuritas memaparkan, dalam 2 hari ke depan akan ada BI Rate dan Fed Rate, sehingga pelaku pasar memilih untuk keluar sementara dari pasar.
Investor mencermati agenda penting Bank Indonesia (BI) yang tengah menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Februari. Besok, hasilnya akan diumumkan.
Satu yang ditunggu tentu pengumuman suku bunga acuan BI Rate. Apakah BI Rate akan ditahan dalam RDG Februari 2025?
Sepertinya demikian. Konsensus Bloomberg yang melibatkan 38 institusi memperkirakan BI Rate tetap ditahan di 5,75% median dalam RDG kali ini.

Pertimbangannya, dari sisi inflasi, untuk pertama kali dalam lebih dari dua dekade, Indonesia mencatat deflasi tahunan, Indeks Harga Konsumen pada Februari tercatat -0,09% YoY. Teranyar kali Indonesia mencatat deflasi tahunan adalah pada Maret 2000 sebesar -1,17%.
Sementara secara bulanan (month-on-month/mom), pada Februari terjadi lagi deflasi, dua bulan beruntun, sebesar 0,48%.
Deflasi yang pertama kali terjadi dalam lebih dari dua dekade di Indonesia itu, seharusnya memberikan ruang lebih besar bagi Bank Indonesia untuk melanjutkan lagi pemangkasan suku bunga acuan.
Namun, dengan rupiah yang masih rawan oleh tekanan eksternal di mana pekan lalu mata uang ini hampir menjebol level terlemah baru sepanjang masa, sebagian analis skeptis BI akan mengambil langkah tersebut.
Pelemahan Rupiah
Nilai tukar rupiah masih bergerak melemah. Sepanjang 2025, rupiah melemah 6,17% di hadapan dolar Amerika Serikat dan hingga sempat berada di atas level Rp 16.580/US$ sebagai posisi terlemah rupiah.
Pada penutupan perdagangan hari ini, Selasa, US$ 1 setara dengan Rp 16.425.
Tekanan yang dihadapi oleh rupiah melanjutkan yang terjadi pada pekan lalu ketika arus keluar modal asing mencapai lebih dari Rp10 triliun baik di pasar saham, Surat Utang Negara (SBN) hingga Sekuritas Rupiah (SRBI).
Dalam pandangan analis Barclays termasuk Themistoklis Fiotakis dan Mitul Kotecha, melansir Bloomberg News, rupiah dibayangi oleh risiko defisit fiskal, lalu kontrak NDF yang jatuh tempo serta kedatangan musim pembayaran dividen yang biasanya menaikkan demand terhadap dolar AS sehingga menekan rupiah.
(fad)