Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 7,1% pada perdagangan hari ini, Selasa (18/3/2025), telah membuat arus jual meluas ke pasar surat utang dan akhirnya menyeret rupiah makin lemah menuju Rp16.500/US$.

Dalam pandangan analis asing, ketidakpastian kebijakan di lingkup domestik ditambah dinamika pasar global dengan berbagai isu mulai dari perang dagang, ketegangan di Eropa serta Timur Tengah juga ancaman resesi negara besar, menjadi kombinasi yang membebani sentimen pasar. Baik itu di aset ekuitas, obligasi maupun valuta rupiah, menurut Ahli Strategi Valas dari Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), salah satu bank terbesar di Jepang, Lloyd Chan, seperti dikutip dari Bloomberg News.

Menurut Chan, investor khawatir Indonesia akan mengalami defisit fiskal lebih besar ketimbang yang diperkirakan oleh Pemerintah RI saat ini. Chan melihat, akan terjadi aksi jual simultan di pasar keuangan Indonesia. Tekanan jual yang terus membesar akan membawa rupiah makin melemah menyentuh Rp16.625/US$ pada kuartal II-2025.

Selain itu, rumor mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Kabinet Merah Putih juga membuat investor gelisah. “Saya melihat ada rumor menteri keuangan akan diganti, mungkin oleh anggota keluarga presiden. Kekhawatiran semacam ini menciptakan lebih banyak hal negatif daripada fundamental saat ini,” kata Sat Duhra, Portfolio Manager di Janus Henderson Investors di Singapura.

IHSG jatuh ke level terendah sejak 2021 (Bloomberg News)

Sementara menurut Fund Manager di SGMC Capital Pte. Mohit Mirpuri, langkah Presiden Prabowo mengalihkan anggaran untuk mendukung program-program prioritasnya telah mengguncang pasar di mana hal itu diperburuk oleh defisit fiskal di awal tahun yang jarang terjadi akibat penurunan pendapatan negara hingga 20%. “Itu memicu gelombang likuidasi paksa, khususnya di kalangan margin traders,” kata Mirpuri.

Menurutnya, sentimen pasar masih lemah dan tidak ada arus masuk dana segar baru untuk mendukung pasar jelang libur panjang Lebaran mulai 28 Maret sampai 7 April nanti.

"Investor asing jelas-jelang bingung oleh sinyal-sinyal Prabowo yang meresahkan tentang realokasi anggaran dan kemampuan Kementerian Keuangan mempertahankan disiplin fiskal secara keseluruhan," kata Homin Lee, Macro Strategist di Lombard Odier Ltd., di Singapura, dilansir dari Bloomberg News.

Selain itu, "Pelemahan dalam pengumpulan penerimaan pemerintah baru-baru ini dan defisit awal yang diakibatkannya, tampaknya menghidupkan kembali kekhawatiran pasar tentang masa depan kabinet," kata Lee.

Analis dari Aletheia Capital di Singapura menambahkan, aksi jual besar hari ini merupakan hal yang terjadi tiba-tiba dan mengejutkan pasar. "Langkah-langkah antibisnis Prabowo dapat memperburuk situasi ini, tetapi sekarang tampaknya sudah dipenuhi dengan banyak hal negatif," kata Nirgunan Tiruchelvam dari Alethia.

Investor kini akan menunggu hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada Rabu esok. "Pasar tidak suka ketidakpastian tetapi mereka menyukai arah, sekarang terserah pada pembuat kebijakan untuk menentukan arah," imbuh Mirpuri, seperti dikutip dari Bloomberg News.

Mungkin terbatas

Namun, menurut analisis Bank of New York (BNY), tekanan jual di pasar saham hari ini hanya memberi dampak terbatas pada rupiah serta surat utang.

Head of Asia Pacific Macro Strategy BNY di Singapura, Aninda Mitra, menilai, kejatuhan pasar saham Indonesia sepertinya tidak akan merembet lebih jauh ke pasar valuta dan surat utang menyusul pasokan dolar AS yang melimpah ditambah porsi kepemilikan asing di SBN yang rendah.

"Saya tidak akan mengesampingkan kemungkinan tekanan yang kecil. Namun, masih diragukan apakah tekanan ini akan menyebar lebih luar ke pasar valas dan obligasi," kata Mitra.

Ia menambahkan, "Kerentanan Indonesia yang lebih luas terhadap pembalikan cepat arus modal portofolio tampaknya lebih rendah dibanding episode sebelumnya," kata Mitra.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat ditambah peraturan yang lebih ketat terkait repatriasi devisa memberi dukungan akan ketersediaan likuiditas dolar AS di dalam negeri.

Di sisi lain, kepemilikan asing di SBN juga masih rendah sekitar 15% dari total yang beredar di pasar. Sudah jauh di bawah puncak proporsi asing sebelum pandemi yang mencapai 40% dari total outstanding SBN. Sebagian besar kepemilikan oleh asing itu kemungkinan juga sudah dihedging atau lindung nilai.

Risiko Defisit APBN

Dalam laporan kinerja fiskal terakhir pada pekan lalu, Pemerintah RI mengumumkan terjadinya defisit sebesar 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp31 triliun.

Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada awal tahun menjadi hal yang langka di mana terakhir kali terjadi pada 2021 lalu ketika perekonomian terhantam pandemi.

Defisit terjadi akibat penurunan penerimaan negara terutama penerimaan pajak yang terkontraksi hingga 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Volatilitas IHSG meningkat paling tajam dalam lima tahun terakhir (Bloomberg)

Defisit APBN tahun ini berpotensi menyentuh batas atas yang diperbolehkan Undang-Undang, bahkan potensial melampauinya apabila Pemerintah RI tidak mengatasinya dengan mengurangi belanja atau menambah penerimaan demi menambal anggaran yang tekor.

Dalam pertemuan dengan para analis dan ekonom pekan lalu usai konferensi pers kinerja APBNKita, Kementerian Keuangan menyatakan tidak akan menarik dividen BUMN tahun ini yang sudah dianggarkan sebesar Rp90 triliun dalam rencana penerimaan.

Dividen tersebut akan diserahkan pada Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang baru dibentuk akhir bulan lalu, untuk diinvestasikan di sektor smelter nikel, energi dan infrastruktur data center. 

Langkah tersebut, menurut analis, potensial membuat APBN 2025 menghadapi kekurangan pendapatan senilai Rp150 triliun hingga Rp160 triliun.

"Apabila hal ini tidak diatasi melalui pengurangan belanja atau mencari penghasilan dari pos lain, maka defisit fiskal tahun ini berisiko naik menjadi -3,16% hingga 3,19% terhadap GDP [Gross Domestic Product]," kata tim analis Mega Capital Sekuritas pekan lalu.

Lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, sebelumnya juga melansir peringatan risiko yang mungkin timbul terkait kehadiran Danantara.

Dalam laporan yang dirilis pekan ini, Fitch menilai pembentukan Danantara berpotensi meningkatkan liabilitas kontijensi Pemerintah RI. Potensi pembiayaan melalui Danantara atau atau badan usaha milik negara (BUMN) di bawahnya dapat meningkatkan risiko fiskal dalam jangka panjang.

“Pemanfaatan Danantara untuk pembiayaan proyek-proyek nasional dapat menciptakan kewajiban utang tambahan bagi pemerintah, terutama jika dana yang dikelola tidak cukup untuk menutupi kebutuhan investasi,” tulis Fitch dalam laporannya, dikutip Rabu (12/3/2025).

Dalam paparan kinerja APBNKita, Pemerintah RI juga melaporkan penarikan utang di porsi yang lebih besar di awal tahun. Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono melaporkan realisasi pembiayaan utang adalah Rp224,3 triliun per Februari 2025. Angka ini setara 28,9% terhadap APBN.

Pembiayaan utang itu terdiri dari SBN neto Rp238,8 triliun atau 37,2% terhadap APBN. Selain itu, terdapat pinjaman (neto) Rp14,4 triliun per Februari 2025.

Pembiayaan utang itu meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, pembiayaan utang baru sebesar Rp184,9 triliun atau 28,5% terhadap APBN. Angka itu terdiri dari Rp177,9 triliun untuk SBN (neto) dan Rp7 triliun dari pinjaman (neto).

-- update penambahan komentar analis asing dan grafik IHSG.

(rui/aji)

No more pages