Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg  Technoz, Jakarta – Harga patokan mineral (HPM) bijih nikel di Indonesia dinilai sangat rendah jika dibandingkan dengan dengan indeks global. Untuk itu, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta pemerintah untuk merevisi formula harga mineral acuan (HMA) nikel dengan memonetisasi kandungan kobalt dan besi yang ada di dalam nikel.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey meminta pemerintah memperhitungkan komoditas besi dan kobalt untuk dimonetisasi. Bijih nikel sendiri dipakai dalam proses pirometalurgi.

Begitu pun dengan mixed hydroxide precipitate (MHP)—yang diproduksi dari proses hidrometalurgi—juga memonetisasi kandungan kobalt. Akan tetapi, hingga kini bijih nikel yang dipakai dalam proses tersebut tidak diperhitungkan kandungan besi dan kobaltnya.

“Untuk itu, sangat reasonable jika formula HPM bijih nikel juga memperhitungkan kandungan besi dan kobalt, selain nikel,” kata Meidy dalam diskusi Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, dikutip Selasa (18/3/2025).

Blok Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) di fasilitas pengolahan nikel Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara./Bloomberg-Dimas Ardian

Meidy menyebut selama periode 2020—2024 untuk bijih saprolit dengan kadar Ni 1,7% dan besi 20%, HPM bijih nikel dapat ditingkatkan dari 27,8% hingga 95,4%, dengan menambahkan nilai keekonomian mineral besi.

Angka ini diestimasi dengan mengasumsikan corrective factor (CF) untuk besi sebesar 80%, karena sebagian besar bijih saprolit diolah dengan proses pirometalurgi yang mengekstrak sekitar 80% kandungan mineral besi dan memonetisasinya.

Adapun, selama periode 2020—2024, untuk bijih limonit dengan kadar Ni 1,7% dan kobalt 0,05%, HPM bijih nikel dapat ditingkatkan dari 44,9% hingga 106,5%, dengan menambahkan nilai keekonomian mineral kobalt.

Hal ini diestimasi dengan mengasumsikan CF untuk kobalt sebesar 50%, karena sebagian besar bijih limonit diolah dengan proses hidrometalurgi yang mengekstrak paling kurang 50% kandungan mineral kobalt dan memonetisasinya.

Tambahan Royalti

Meidy memaparkan dengan memperhitungkan kandungan besi dan kobalt dalam formula HPM bijih nikel, negara berpotensi mendapatkan royalti hingga Rp16,61 triliun dari yang sebelumnya Rp10,96 triliun pada 2024.

Sementara itu, dengan hanya menaikkan tarif royalti bijih nikel menjadi tarif progresif mulai 14% hingga 19% negara hanya mendapatkan Rp15,53 triliun dari sebelumnya dari sebelumnya single tariff 10% sebesar Rp10,96 triliun.

Jika formula HPM tidak direvisi, APNI berpandangan pengusaha berpotensi rugi US$6,3 miliar atau sekitar Rp103,4 triliun dalam kurun waktu dua tahun karena HPM bijih nikel yang sangat rendah.

“Dibandingkan dengan indeks harga pasar seperti Shanghai Metals Market [SMM], HPM bijih nikel amat sangat rendah. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, ada potensi kerugian nilai pasar sebesar US$6,3 miliar jika dibandingkan dengan SMM,” ungkap Meidy.

Dalam kaitan itu,  Meidy menjelaskan sejumlah manfaat akan didapatkan pemerintah maupun penambang jika menyesuaikan formula HPM bijih nikel yakni meningkatnya pendapatan.

Dengan margin yang meningkat, perusahaan pertambangan dapat mengalokasikan lebih banyak dana untuk kegiatan eksplorasi dan masalah lingkungan.

“Revisi formula HPM yang memperluas margin produksi membuat penambang dapat memakai cut off grade yang rendah, sehingga jumlah cadangan dapat menjadi lebih besar,” ujarnya.

Cut off grade yakni kadar batas penambangan. Makin tinggi harga jual suatu mineral, makin rendah kadar batas penambangan (cut off grade) yang dapat diterapkan.

Dengan margin produksi yang besar, endapan berkadar rendah (yang cash cost-nya lebih tinggi) masih ekonomis untuk ditambang. Kemudian cut off grade yang rendah membuat volume cadangan menjadi lebih besar secara eksponensial.

Kenaikan tarif royalti yang menekan margin produksi akan memaksa penambang meningkatkan cut off grade, sehingga volume cadangan akan menyusut signifikan. Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang, sehingga secara longterm penerimaan negara justru akan berkurang.

Sementara di sisi hilir, kata Meidy, harga pasar NPI dan produk smelter lainnya juga akan meningkat sebagai dampak kenaikan HPM bijih nikel, sehingga smelter tetap dapat mempertahankan margin keuntungan yang baik.

“Kenaikan harga NPI akan berdampak pada peningkatan nilai ekspor yang dapat mendongkrak surplus transaksi berjalan Indonesia,” imbuhnya.

Di sisi lain, valuasi kandungan besi dan kobalt dalam bijih nikel akan memicu perusahaan pertambangan untuk mengembangkan teknologi ekstraksi dan industri hilirisasi atas mineral ikutan tersebut.

(mfd/wdh)

No more pages