Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) melaporkan usulan kenaikan tarif royalti bagi sektor mineral dan batu bara (minerba) berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor pertambangan akibat margin pengusaha tambang yang makin tergencet.

“Memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja,” kata Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey dalam diskusi Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, dikutip Selasa (18/3/2025).

Tidak hanya itu, Meidy menyebut kenaikan royalti juga dapat mengurangi minat investasi di sektor hulu hingga hilir pertambangan mineral, khususnya nikel, serta menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global.

Tambang nikel../Bloomberg-Ron D'Raine

Untuk itu, APNI melayangkan surat keberatan terhadap pemerintah imbas rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 26/2022 yang dinilai memberatkan industri, terutama di tengah tantangan eksternal dan internal yang kian kompleks. 

Surat keberatan itu dikirim hari ini dan ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi XII DPR RI, hingga Kantor Staf Presiden.

APNI memohon kebijakan tarif royalti yang progresif, realistis, dan berkeadilan dengan mempertimbangkan formula penyesuaian tarif berdasarkan harga komoditas, sehingga royalti meningkat hanya ketika harga nikel di atas level tertentu misalnya US$24.000/ton.

Kemudian, APNI juga meminta insentif fiskal untuk smelter, seperti penurunan tarif royalti bagi perusahaan yang telah berinvestasi di proyek penghiliran. Kemudian, peninjauan ulang skema pajak dan iuran untuk menghindari tumpang-tindih kewajiban yakni pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) badan, tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta pajak barang dan jasa atau goods and services tax (GST). 

Selanjutnya, APNI juga menginginkan revisi formula HPM bijih nikel untuk memperhitungkan kandungan mineral besi dan kobalt. Selain itu, pemerintah perlu melakukan dialog terbuka dengan asosiasi, dan pelaku usaha guna menyusun skema yang menguntungkan semua pihak atau win-win solution.

APNI melaporkan penambang saat ini telah banyak menanggung biaya operasi tambang yang makin meningkat signifikan, sementara harga nikel terus menurun sehingga margin perusahaan makin tergerus.

Tingginya beban yang ditanggung penambang, di antaranya disebabkan oleh kenaikan biaya biodiesel B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.

Selain itu, adanya penerapan global minimum tax (GMT) sebesar 15%, iuran tetap tahunan, serta pajak bumi bangunan (PBB) on shore dan tubuh bumi.

Di sisi lain, penambang juga memiliki kewajiban reklamasi pascatambang, iuran penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP PPKH), kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), program pemberdayaan masyarakat (PPM), dan investasi besar untuk membangun smelter.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung sebelumnya membantah pemerintah sengaja berencana menaikkan tarif royalti di tengah harga komoditas minerba yang tengah terpuruk. Menurutnya, turun naiknya harga komoditas merupakan hal yang biasa dalam mekanisme pasar.

“Ini kan umumnya komoditas itu harganya juga ini fluktuatif ya, tergantung kepada permintaan pasar. Jadi kalau ini permintaan pasar lagi melemah, sudah pasti itu harga ini terjadi penurunan,” ujarnya.

(mfd/wdh)

No more pages