Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – PT Mining Industri Indonesia (MIND ID) mengungkapkan perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) acapkali sulit bersaing lantaran terdapat perbedaan perlakuan dalam penerapan harga mineral acuan (HMA) untuk transaksi jual-beli, dibandingkan dengan perusahaan pemegang izin usaha industri (IUI). 

Senior Vice President Division Head of IMMRI MIND ID Ratih Dewihandajani mengatakan para pemegang IUP sangat diwajibkan untuk menggunakan HMA dalam kegiatan jual-belinya. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 11/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM No. 7/2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu Bara.

Adapun, IUP diterbitkan dan menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM. Sementara itu, terdapat juga perusahaan sektor pertambangan yang tidak terintegrasi dan mengantongi izin lain berupa IUI yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian. 

Berbeda dengan pemegang IUP, terang Ratih, pemegang IUI banyak yang masih menjual komoditas mineralnya dengan harga pasar yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditetapkan dalam HMA. Harga yang lebih kompetitif ini lebih banyak diminati oleh pembeli.

“Kita sih senang kalau semuanya kompak, tetapi kan ada yang izin yang tidak tunduk pada Keputusan Menteri ESDM. Kalau saya boleh sebut merek, ada IUI gitu kan. Lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pemegang IUP yang integrasi, yang harus menjadi subjek atau tunduk kepada peraturan harga minimum atau mandatori HMA,” kata Ratih dalam diskusi Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, dikutip Selasa (18/3/2025).

MIND ID. (Sumber: dok. MIND ID)

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara rutin setiap bulannya mengeluarkan HMA sebagai patokan pelaku usaha pertambangan melakukan transaksi komoditasnya.

HMA sendiri cenderung memiliki perhitungan harga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga komoditas di pasaran dunia. Kebanyakan pelaku usaha nikel di Indonesia dinilai menjual dengan harga pasar, alih-alih HMA.

Untuk itu, Ratih menyarankan kepada seluruh penambang nikel untuk dapat mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Hal ini akan memberikan dampak yang adil bagi seluruh pelaku industri, terlebih Indonesia digadang-gadang menjadi pemain nikel di tingkat global.  

“Itu mungkin akan baik karena, khususnya nikel, itu kan kalau nyari di mana lagi customer, kalau bukan dari nikel di Indonesia, kita bisa jadi price setter global kalau kompak [dalam menerapkan HMA],” ujarnya.

Menurut dia, ketidiakadilan dalam penerapan mandatori HMA antara pemegang IUP dan IUI tersebut membuat anak usaha MIND ID—holding BUMN sektor pertambangan — yang berorientasi dalam industri nikel, yakni PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO), kesulitan bersaing dalam berjualan.

“Kita [pemegang IUP terintegrasi] mau jualan dengan harga HMA minimum karena kita patuh dan tunduk pada peraturan, 'tetangga' [pemegang IUI] kita jualannya di bawah. Itu kan mau untung malah jadi buntung nih,” imbuhnya. 

Belum lagi, dengan adanya wacana kenaikan tarif royalti nikel, anggota grup MIND ID dinilainya akan terdampak lebih signifikan di tengah kesulitan berjualan dengan perusahaan pemegang IUI yang mematok harga lebih murah.

“Ini fakta yang dampaknya sangat signifikan. Boro-boro mau bayar royalti atau apa gitu ya, ini mau jualan saja jadi terkendala karena saingannya lebih murah dia jualannya,” ungkap Ratih.

Antam Keberatan

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Antam mengungkapkan pemerintah perlu adil dalam menetapkan harga bagi seluruh pelaku usaha izin pertambangan. Dia mengakui, adanya wacana kenaikan tarif royalti ditambah dengan penetapan harga patokan mineral (HPM) sebagai batas bawah, sangat berdampak bagi Antam.

“Secara bisnis nanti memang harga jualnya untuk produk feronikelnya perlu sama gitu ya playing field-nya dengan teman-teman yang ada di IUI. Untuk harga dari sisi ore-nya juga memang menyesuaikan. Kalau sampai di industri smelter-nya juga keberatan dengan harganya, kita juga sulit bisa jualan,” ujarnya.

“Sehingga sustainability kita dari sisi penambang dari sisi produsen juga bisa berjalan dengan lebih baik ke depannya.”

(wdh)

No more pages