Logo Bloomberg Technoz

Dengan demikian, apabila tarif royalti tambang bijih nikel naik ke level 14%, royalti yang akan dikenakan sebesar US$4,3 per wmt. Artinya, margin yang tersisa hanya sebesar US$26,6 per wmt.

"Margin tersebut bahkan lebih kecil daripada biaya produksi sejumlah penambang," ujarnya.

"Kalau ditetapkan royalti 14% saja, kalau 19% gimana ya? Apa tutup [tambang] ya? [Tarif] 14% saja, itu dia sudah minus. Artinya rugi."

Cadangan Bisa Turun

Dalam surat keberatan yang dilansir hari ini terkait dengan wacana kenaikan tarif royalti minerba, APNI mengelaborasi makin tinggi harga jual suatu mineral, makin rendah kadar batas penambangan (cut off grade) yang dapat diterapkan. 

Penyebabnya, dengan margin produksi yang besar, endapan berkadar rendah (yang cash cost-nya lebih tinggi) masih ekonomis untuk ditambang. Selanjutnya, cut off  grade yang rendah membuat volume cadangan menjadi lebih besar secara eksponensial.

Dengan demikian, kenaikan tarif  royalti yang menekan margin produksi dinilai akan memaksa penambang meningkatkan cut off grade, sehingga volume cadangan akan menyusut secara signifikan. 

"Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang, sehingga penerimaan negara secara jangka panjang justru akan berkurang," tulis asosiasi dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi XII DPR RI, dan Kantor Staf Presiden tersebut.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, total cadangan bijih nikel mencapai 5,32 miliar ton dan cadangan logam nikel 56,11 juta ton per 2024, di mana Maluku Utara menjadi provinsi dengan jumlah cadangan yang paling banyak.

Cadangan bijih nikel mencapai 5,32 miliar ton ini terdiri dari 60% saprolit dan 40% limonit. Adapun, total sumber daya bijih nikel di Indonesia adalah 18,55 miliar ton dan total sumber daya logam nikel adalah 184,6 juta ton.

Sebaran sumber daya nikel di Indonesia./dok. Kementerian ESDM

Sudah Disurvei

Lebih lanjut, Meidy menyebut APNI telah melakukan survei terhadap beberapa perusahaan tambang nikel. Dengan asumsi tarif royalti dikenakan sebesar 14%, terdapat beberapa penambang akan mengalami kerugian dalam proses produksi.

Perusahaan tersebut di antaranya yakni PT Bhumi Karya Utama (BKU), PT Manunggal Sarana Surya Pratama, PT Apollo Nickel Indonesia, Modern Cahaya Makmur, PT Artha Bumi Mineral, dan PT Sarana Maju Cemerlang.

Bagaimanapun, Meidy menegaskan penambang saat ini telah banyak menanggung biaya operasi tambang yang makin meningkat signifikan, sementara harga nikel terus menurun sehingga margin perusahaan makin tergerus.

Tingginya beban yang ditanggung penambang, di antaranya disebabkan oleh kenaikan biaya biodiesel B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.

Selain itu, adanya penerapan global minimum tax (GMT) sebesar minimal 15%, iuran tetap tahunan, serta pajak bumi bangunan (PBB) on-shore dan tubuh bumi.

Tidak hanya itu, penambang juga memiliki kewajiban reklamasi pascatambang, iuran penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP PPKH), kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), program pemberdayaan masyarakat (PPM), dan investasi besar untuk membangun industri pengolahan atau smelter.

Dalam kaitan itu, APNI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang rencana kenaikan tarif royalti tersebut. Wacana penyesuaian tarif minerba juga diyakini dapat menggerus potensi penerimaan negara.

Sekadar catatan, realisasi royalti nikel pada 2024 mengalami penyusutan menjadi Rp11,63 triliun dari tahun sebelumnya Rp13,69 triliun.

Penerapan revisi tarif royalti nikel berdasarkan data historis./dok. APNI

Adapun, Kementerian ESDM mengusulkan perubahan tarif royalti progresif terhadap bijih nikel dan berbagai produk turunannya sebagai berikut:  

Bijih Nikel

  • Tarif royalti sebelumnya (sesuai PP No. 26/2022): 10%
  • Tarif bijih nikel diusulkan naik progresif menjadi 14%—19% menyesuaikan dengan harga mineral acuan nikel (HMA Ni).
  • Usulan perubahan tarif royalti bijih nikel:
    • HMA Ni US$18.000—US$21.000 per ton : 15%
    • HMA Ni US$21.000—US$24.000 per ton : 16%
    • HMA Ni US$24.000—US$31.000 per ton : 18%
    • HMA Ni ≥ US$31.000 per ton: 19%

Nickel Matte

  • Tarif royalti sebelumnya (sesuai PP No. 26/2022):
    • ≤ US$21.000 per ton : 2%
    • > US$21.000 per ton : 3%
  • Tarif nickel matte diusulkan naik progresif menjadi 4,5%—6,5% menyesuaikan dengan HMA Ni.
  • Usulan perubahan tarif royalti nickel matte:
    • HMA Ni US$18.000—US$21.000 per ton : 5%
    • HMA Ni US$21.000—US$24.000 per ton : 5,5%
    • HMA Ni US$24.000—US$31.000 per ton : 6%
    • HMA Ni ≥ US$31.000 per ton: 6,5%

Feronikel

  • Tarif royalti sebelumnya (sesuai PP No. 26/2022): 2%
  • Tarif feronikel diusulkan naik progresif menjadi 5%—7% menyesuaikan dengan HMA Ni.
  • Usulan perubahan tarif royalti feronikel:
    • HMA Ni US$18.000—US$21.000 per ton : 5,5%
    • HMA Ni US$21.000—US$24.000 per ton : 6%
    • HMA Ni US$24.000—US$31.000 per ton : 6,5%
    • HMA Ni ≥ US$31.000 per ton: 7%

Nickel Pig Iron

  • Tarif royalti sebelumnya (sesuai PP No. 26/2022): 5%
  • Tarif nickel pig iron diusulkan naik progresif menjadi 5%—7% menyesuaikan dengan HMA Ni.
  • Usulan perubahan tarif royalti nickel pig iron:
    • HMA Ni US$18.000—US$21.000 per ton : 5,5%
    • HMA Ni US$21.000—US$24.000 per ton : 6%
    • HMA Ni US$24.000—US$31.000 per ton : 6,5%
    • HMA Ni ≥ US$31.000 per ton: 7%

(wdh)

No more pages