Bloomberg Technoz, Jakarta - Arus jual investor membesar di pasar keuangan Indonesia pada Selasa pagi. Harga saham dan surat utang RI tertekan di kala rupiah berbalik melemah hingga menembus lebih dari Rp16.400-an per dolar Amerika Serikat (AS).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pagi ini tergerus hingga lebih dari 2%, menjadi bursa saham dengan kinerja terburuk di Asia sejauh ini.
Kejatuhan indeks saham menyeret nilai rupiah jadi berbalik melemah setelah pada awal pembukaan pasar tadi dibuka menguat. Rupiah spot kini tergerus 0,08% di level Rp16.413/US$.
Pelemahan rupiah juga terjadi di tengah tren 'merah' mata uang Asia. Sampai jelang siang ini, hanya baht, dolar Taiwan dan peso yang masih menguat melawan dolar AS. Selebihnya, mata uang Asia tergerus lemah.
Di pasar surat utang, mayoritas tenor Surat Berharga Negara (SBN) mencatat kenaikan tingkat imbal hasil, indikasi ada tekanan jual yang menekan harga.
Mengacu data OTC Bloomberg, SUN tenor 10 tahun imbal hasilnya naik 1,5 basis poin kini menyentuh 7,009%. Sedangkan tenor 2Y naik 0,2 basis poin, disusul tenor 5Y juga naik yield-nya 1,1 basis poin.
Tenor panjang 18Y juga naik 1,5 basis poin, bersama yield SUN 30Y yang naik 0,5 basis poin.
Kejatuhan harga saham dan surat utang di pasar domestik, di tengah pelemahan nilai tukar rupiah juga terjadi di kala tingkat premi risiko investasi RI, Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun, naik menyentuh level tertinggi sejak 13 November 2023. CDS Indonesia kini ada di 83,16.
Kenaikan premi risiko mencerminkan pembelian akan asuransi atas terjadinya kegagalan kredit atau risiko kredit lain meningkat. Dalam konteks yang terjadi di pasar domestik hari ini, para investor memperbanyak upaya memproteksi kerugian investasi di aset-aset pasar Indonesia.
Kekhawatiran domestik
Animo pemodal global yang mengecil di saham-saham Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sepanjang tahun ini. Terutama di tengah lanskap pasar global yang masih penuh ketidakpastian. Namun, faktor domestik semakin membebani pasar keuangan Indonesia, terutama untuk aset saham.
Pelemahan rupiah yang berlarut-larut, kini tak pernah bisa berhasil bangkit lagi dari zona Rp16.000-an per dolar AS, mengancam tingkat pengembalian saham-saham di bursa domestik.
Bank investasi asing pun akhirnya banyak yang memangkas rekomendasi mereka untuk saham RI, mulai dari Morgan Stanley, JPMorgan hingga Goldman Sachs.
Di sisi lain, kekhawatiran akan kelesuan ekonomi juga menjadi membebani prospek kinerja korporasi. Data-data ekonomi yang dirilis sejauh ini memperkuat tesis tersebut.
Keyakinan konsumen merosot, rasio tabungan terkuras, ketika penjualan ritel juga tidak terlihat gregetnya jelang musim perayaan yang seharusnya menjadi puncak konsumsi masyarakat.
Tidak berhenti di sana, paparan kinerja fiskal yang buruk juga membuat kekhawatiran investor kian tebal. Defisit APBN di awal tahun menjadi fenomena langka akibat kejatuhan penerimaan pajak, membuat pasar cenderung menjalankan skenario risk-off atau keluar dari aset-aset yang dinilai lebih berisiko seperti saham.
Tanpa upaya pengurangan belanja atau penambahan penghasilan dari pos lain, defisit fiskal RI tahun ini diperkirakan bisa naik hingga melampaui batas atas yang dibolehkan oleh Undang-Undang.
Kementerian Keuangan menyatakan tidak akan menarik dividen BUMN tahun ini yang dianggarkan senilai Rp90 triliun karena dana segar itu akan diserahkan pada Badan Pengelola Investasi Danantara yang baru dibentuk, sebagai investasi.
Alhasil, APBN 2025 akan menghadapi kekurangan pendapatan antara Rp150 triliun sampai Rp160 triliun. Tanpa pengurangan belanja atau mencari penghasilan dari pos lain, maka defisit fiskal tahun ini berisiko naik menjadi -3,16% hingga 3,19% terhadap GDP [Gross Domestic Product], menurut hitungan analis Mega Capital Sekuritas.
(rui)