Logo Bloomberg Technoz

Hendra menyebut pemerintah perlu tahu kondisi pasar, pergerakan harga komoditas, hingga banyak hal teknis lainnya yang ada di industri pertambangan sebelum menerapkan penyesuaian tarif royalti. 

Bahkan, pemerintah seharusnya mengetahui kondisi permintaan komoditas dari luar negeri, serta bagaimana kompetisi yang terjadi terhadap komoditas pertambangan andalan Indonesia.

“Filipina misalnya kalau di nikel, ini kan kita juga lihat bagaimana pergerakan market nikel. Pasar nikel dari Filipina ke China seperti apa, tembaga juga, batu baranya juga bagaimana kompetisi kita,” tuturnya.

Minim Sosialisasi

Hendra mengaku pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), selama ini tidak pernah mengadakan sosialisasi kepada pelaku usaha sebelum menaikkan tarif royalti. Pemerintah baru mengadakan diskusi publik pada Sabtu (8/3/2025) setelah menetapkan adanya usulan kenaikan tarif royalti. 

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) melaporkan penambang saat ini telah banyak menanggung biaya operasi tambang yang makin meningkat signifikan, sementara harga nikel terus menurun sehingga margin perusahaan makin tergerus. 

Tingginya beban yang ditanggung penambang, di antaranya disebabkan oleh kenaikan biaya biodiesel B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan. 

Selain itu, adanya penerapan global minimum tax (GMT) sebesar 15%, iuran tetap tahunan, serta pajak bumi bangunan (PBB) on shore dan tubuh bumi.

Di sisi lain, penambang juga memiliki kewajiban reklamasi pascatambang, iuran penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP PPKH), kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), program pemberdayaan masyarakat (PPM), dan investasi besar untuk membangun industri pengolahan atau smelter.

Menjawab keresahan pelaku industri pertambangan, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung sebelumnya menyebut pemerintah sudah meninjau pergerakan harga komoditas minerba sebelum menyusun usulan untuk menaikkan tarif royalti di sektor tersebut.

“Jadi untuk penyesuaian itu, sebenarnya kita melihat berdasarkan harga komoditas, itu kan ada yang ternyata harganya relatif stabil. Ada juga komoditas yang harganya naik dari waktu ke waktu,” kata Yuliot ditemui di kantornya, Rabu (12/3/2025).

Yuliot juga membantah pemerintah sengaja berencana menaikkan tarif royalti di tengah harga komoditas minerba yang tengah terpuruk. Menurutnya, turun naiknya harga komoditas merupakan hal yang biasa dalam mekanisme pasar.

“Ini kan umumnya komoditas itu harganya juga ini fluktuatif ya, tergantung kepada permintaan pasar. Jadi kalau ini permintaan pasar lagi melemah, sudah pasti itu harga ini terjadi penurunan,” ujarnya.

Dia mengeklaim Kementerian ESDM juga akan memperhatikan sejumlah aktivitas pengusaha sektor minerba ketika rencana penyesuaian tarif tersebut diimplementasikan. Secara bersamaan, kepastian dan PNBP tetap diutamakan.

“Ya tentu kita melihat bagaimana kegiatan usaha tetap berjalan. Ada kepastian dan juga penerimaan negara kita utamakan,” ucapnya.

(wdh)

No more pages