Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Aliran dana investor asing masih terus keluar dari bursa saham Indonesia di tengah kekhawatiran akan pelemahan ekonomi domestik yang bisa berdampak pada kinerja korporasi, di kala nilai tukar rupiah sudah melemah dan kinerja fiskal juga mencemaskan.

Arus keluar modal asing yang sudah besar, di mana sepanjang kuartal ini sudah menembus US$ 1,64 miliar atau sebesar Rp26,89 triliun quarter-to-date, terlihat belum terhenti. Pada awal pekan, tepatnya perdagangan Senin kemarin, di kala pemodal global mulai kembali berbelanja saham-saham di bursa Filipina serta Korea Selatan, tekanan jual masih berlanjut di bursa Indonesia.

Mengacu data otoritas yang dikompilasi oleh Bloomberg, pada perdagangan Senin kemarin, asing kembali mencatat net sell di bursa saham RI senilai US$ 54,2 juta atau sekitar Rp888 miliar, dengan kurs dolar AS di pasar spot terakhir.

Dana asing keluar dari pasar saham dan pasar surat utang RI (Riset Bloomberg Technoz)

Pada saat yang sama, pemodal global membukukan net buy di bursa saham Filipina senilai US$ 6,2 juta atau sekitar Rp101,68 miliar. Di bursa saham negeri jiran itu, sebulan terakhir, pemodal global juga mencatat net buy senilai US$ 45,7 miliar, setara Rp749,5 miliar.

Sementara di bursa saham Korsel, modal global kemarin memborong saham sekitar US$ 345,6 juta, sekitar Rp5,66 triliun. 

Tekanan jual bukan cuma melanda bursa saham RI. Modal global juga melepas kepemilikan saham mereka di bursa Malaysia dan Thailand, masing-masing sebesar US$ 64,3 juta dan US$ 39,2 juta pada perdagangan Senin kemarin.

Surat utang juga dilepas

Bukan hanya saham yang dilepas oleh pemodal asing. Surat utang terbitan Pemerintah RI, atau biasa disebut Surat Berharga Negara (SBN) juga masih tertekan arus jual sampai pekan lalu.

Mengacu data Kementerian Keuangan, pada perdagangan terakhir pekan lalu, asing menjual Rp894,16 miliar, membawa posisi asing pekan lalu menjadi net sell sebesar Rp3,83 triliun. Itu berkebalikan dari posisi pekan sebelumnya di mana asing mencetak net buy sebesar Rp7,84 triliun, tertinggi sejak pekan yang berakhir pada 13 Desember lalu.

Pemodal global bukan hanya menjual surat utang RI. Pada perdagangan Senin lalu, global funds juga menjual obligasi Thailand senilai US$ 150 juta atau sekitar Rp2,5 triliun.

Sementara surat utang terbitan India dan Korea Selatan masih menjadi incaran. Mengacu Bloomberg, pemodal global mencetak pembelian obligasi Korea Selatan senilai US$ 678,7 juta atau sekitar Rp11,13 triliun pada Jumat pekan lalu. Itu menjadi nilai pembelian bersih dalam empat hari perdagangan beruntun.

Di India, pemodal global juga masih mencatat pembelian surat utang pada perdagangan 13 Maret, senilai US$ 190,5 juta atau sekitar Rp3,12 triliun.

Faktor domestik

Animo pemodal global yang mengecil di saham-saham Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sepanjang tahun ini. Terutama di tengah lanskap pasar global yang masih penuh ketidakpastian.

Arus keluar modal dari pasar Asia terjadi ketika sentimen risk-off menguat dan modal global berbalik menyerbu surat utang AS, Treasury, juga aset safe haven lain seperti emas. Bursa Eropa juga jadi incaran ketika tensi perang dagang memantik ketidakpastian kian besar.

Premi CDS Indonesia menyentuh level tertinggi sejak November 2023 ketika rupiah terbenam dan IHSG terus tertekan (Riset Bloomberg Technoz)

Namun, pasar saham RI juga terbebani lebih besar oleh sentimen domestik yang tidak menguntungkan.

Pelemahan rupiah yang berlarut-larut, kini tak pernah bisa berhasil bangkit lagi dari zona Rp16.000-an per dolar AS, mengancam tingkat pengembalian saham-saham di bursa domestik.

Bank investasi asing pun akhirnya banyak yang memangkas rekomendasi mereka untuk saham RI, mulai dari Morgan Stanley hingga Goldman Sachs.

Di sisi lain, kekhawatiran akan kelesuan ekonomi juga menjadi membebani prospek kinerja korporasi. Data-data ekonomi yang dirilis sejauh ini memperkuat tesis tersebut. Keyakinan konsumen merosot, rasio tabungan terkuras, ketika penjualan ritel juga tidak terlihat gregetnya jelang musim perayaan yang seharusnya menjadi puncak konsumsi masyarakat.

Tidak berhenti di sana, paparan kinerja fiskal yang buruk juga membuat kekhawatiran investor kian tebal. Defisit APBN di awal tahun menjadi fenomena langka, terakhir terjadi saat pandemi, akibat kejatuhan penerimaan pajak, membuat pasar cenderung waspada.

Tanpa upaya pengurangan belanja atau penambahan penghasilan dari pos lain, defisit fiskal RI tahun ini diperkirakan bisa naik hingga melampaui batas atas yang dibolehkan oleh Undang-Undang, menurut perhitungan analis Mega Capital Sekuritas.

Kementerian Keuangan menyatakan tidak akan menarik dividen BUMN tahun ini yang dianggarkan senilai Rp90 triliun karena dana segar itu akan diserahkan pada Badan Pengelola Investasi Danantara yang baru dibentuk, sebagai investasi. Alhasil, APBN 2025 akan menghadapi kekurangan pendapatan antara Rp150 triliun sampai Rp160 triliun.

"Apabila hal ini tidak diatasi melalui pengurangan belanja atau mencari penghasilan dari pos lain, maka defisit fiskal tahun ini berisiko naik menjadi -3,16% hingga 3,19% terhadap GDP [Gross Domestic Product]," kata tim analis Mega Capital Sekuritas di antaranya Lionel Priyadi, Muhammad Haikal dan Nanda Rahmawati.

Kekhawatiran akan kondisi fiskal itu juga yang agaknya mengerek terus tingkat premi risiko investasi di Indonesia. Premi Credit Default Swap (CDS) RI tenor 5 tahun sempat menyentuh 82,85. Meski pagi ini sedikit turun di 82,69, akan tetapi itu masih merupakan level tertinggi sejak November 2023. 

Ketika premi CDS naik, itu berarti pembelian terhadap proteksi atas terjadinya kegagalan kredit atau risiko kredit yang lain, meningkat.

Dalam konteks yang terjadi di pasar Indonesia, defisit APBN di awal tahun juga kelesuan aktivitas ekonomi dilihat sebagai peningkatan risiko kredit sehingga investor membutuhkan proteksi lebih besar untuk memitigasi risiko pasar ke depan. 

(rui/hps)

No more pages