Yenny Wahid juga menekankan bahwa peran pengasuhan anak bukan hanya tugas ibu, tetapi juga ayah. "Anak kan bukan cuma anaknya ibu, anaknya bapak juga. Lalu juga pemeliharaan rumah dan lain sebagainya, ini rumah bersama, jadi seharusnya menjadi tanggung jawab bersama," tambahnya.
Selain itu, ia mengungkapkan bagaimana dikotomi ini berdampak secara psikologis bagi perempuan yang bekerja. "Kadang perempuan bekerja merasa bersalah karena meninggalkan anak, seolah-olah mereka tidak mengurus rumah tangga. Padahal, perempuan tetap memikirkan keluarga meskipun bekerja. Bahkan, urusan anak sekolah, masakan di rumah, semuanya tetap ada di pikiran seorang ibu," ujarnya.
Yenny juga menyinggung pentingnya dukungan sosial bagi perempuan. "Yang penting adalah perempuan tidak merasa sendirian. Harus ada support system. Kita beruntung di Indonesia karena kita punya budaya gotong royong. Kita bisa titip anak ke nenek, tante, atau ada ART yang membantu," jelasnya.
Dalam diskusi ini, Yenny Wahid juga mengangkat dampak sosial dari konstruksi peran gender yang kaku. Ia menyebutkan bahwa di beberapa negara seperti Jepang, perempuan merasa terbebani dengan peran domestik yang begitu besar sehingga banyak yang memilih untuk tidak menikah. "Di Jepang, perempuan begitu punya anak harus sepenuhnya mengurus anak dan mertua, sementara suami bekerja sampai larut malam. Akhirnya, banyak perempuan yang memilih tidak menikah, dan ini berdampak pada tingkat kelahiran dan perekonomian negara," ungkapnya.
Menutup diskusi, Yenny Wahid mengajak masyarakat untuk lebih mendukung perempuan, baik yang memilih untuk bekerja maupun yang fokus di rumah. "Yang penting adalah pilihan dan kesepakatan dalam keluarga. Kalau sudah ada kesepakatan, ya nggak apa-apa. Harus saling mendukung," pungkasnya.
Jangan lewatkan kesempatan untuk mendapatkan wawasan mendalam mengenai jejak pemimpin perempuan dalam Islam dan relevansinya di era modern. Saksikan episode terbaru "Bloomberg Technoz Podcast - Ramadan Spark" hanya di www.bloombergtechnoz.com.
(btp)