Menurut analis Maybank, Myrdal Gunarto, pelemahan rupiah tidak bisa dilepaskan dari arus keluar modal dari pasar keuangan domestik terutama dari pasar saham yang mengkhawatirkan dampak dari pelemahan aktivitas ekonomi dan ketidakpastian global.
Pada pekan lalu, asing membukukan net sell di bursa saham senilai Rp1,77 triliun, yang merupakan net sell dalam enam pekan beruntun. Sepanjang tahun 2025, pemodal asing mencatat posisi jual bersih di saham Indonesia sebesar US$ 1,59 miliar atau sekitar Rp26 triliun year-to-date.
Dalam pandangan analis Barclays termasuk Themistoklis Fiotakis dan Mitul Kotecha, melansir Bloomberg News, rupiah dibayangi oleh risiko defisit fiskal, lalu kontrak NDF yang jatuh tempo serta kedatangan musim pembayaran dividen yang biasanya menaikkan demand terhadap dolar AS sehingga menekan rupiah.
Hari ini, Badan Pusat Statistik melaporkan kinerja dagang RI untuk bulan Februari. Ekspor tumbuh 14,05%, melampaui ekspektasi pasar dan tumbuh berlipat dari bulan sebelumnya.
Pada saat yang sama, impor juga tumbuh positif setelah terkontraksi pada Januari. Impor tumbuh 2,30%, juga melampaui ekspektasi pasar. Alhasil, neraca dagang RI berhasil membukukan surplus sebesar US$ 3,11 miliar, di atas ekspektasi pasar meskipun mengecil dibanding bulan sebelumnya.
Meski terjadi surplus, ada beberapa data yang mungkin menjadi perhatian karena memperkuat dugaan akan terjadinya pelemahan konsumsi domestik, yang ditengarai karena daya beli masyarakat melemah.
Impor barang konsumsi termasuk komoditas yang banyak dibutuhkan oleh rumah tangga, mulai dari buah-buahan, daging hingga beras, mencatat kontraksi atau penurunan pada Februari.
Sebelumnya, hasil survei LPEM Universitas Indonesia Semester 1-2025, terhadap puluhan pakar ekonomi, analis dan akademisi, menunjukkan bahwa kondisi ekonomi saat ini dinilai lebih buruk dibanding periode sebelumnya.
Para ahli juga menilai kebijakan fiskal Pemerintah RI sejauh ini tidak efektif. Rata-rata tanggapan menunjukkan persepsi negatif -1,05 dan keyakinan terhadap evaluasi ini cukup tinggi mencapai 7,83. "Hal itu menunjukkan perlunya perbaikan kebijakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal," kata LPEM UI.
Kebijakan fiskal dinilai tidak memiliki dampak dan cenderung kurang efektif. Bukan cuma itu, kebijakan keuangan yang sudah dijalankan selama ini juga dinilai tidak memiliki pengaruh dengan 48% responden berpendapat seperti itu.
Sebanyak 27 dari 42 pakar berpendapat bahwa kebijakan pemerintah saat ini tidak efektif dalam meningkatkan pasar tenaga kerja. "Nilai rata-rata -0,86 menunjukkan persepsi yang agak negatif," jelas LPEM UI.
(rui)