Bloomberg Technoz, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tajam pada penutupan perdagangan Sesi I. IHSG melemah terdalam di Asia dan ASEAN saat mayoritas Bursa Asia tengah menguat. Sentimen data perekonomian ekspor-impor dalam negeri jadi sebabnya.
IHSG ditutup melemah 0,99% atau ambles 64,8 poin ke posisi 6.450,82 pada perdagangan Senin (17/3/2025).

Transaksi terpantau cukup ramai dengan aksi jual, dengan nilai transaksi setengah hari mencapai Rp5,15 triliun dan volume perdagangan sentuh 13,54 miliar saham. Adapun frekuensi yang terjadi sebanyak 662 ribu kali jual–beli.
Hanya ada 296 saham yang menguat. Sedang sebanyak 290 saham melemah dan 210 saham lainnya tidak bergerak. Posisi terendah IHSG hari ini ada di 6.445,97 sedangkan tertingginya sempat di 6.557,41.
Saham-saham teknologi, saham keuangan, dan saham transportasi jadi yang terdalam pelemahannya pada siang hari ini, melemah mencapai 11,6%, 1,03%, dan 0,47% secara masing-masing.
Sementara itu, saham-saham perindustrian, dan saham energi juga melemah dengan tertekan 0,3%, dan 0,04%.
Sementara Bursa Saham Asia lainnya justru kompak menapaki jalur hijau. Pada pukul 13.00 WIB, KOSPI (Korea Selatan), TOPIX (Jepang), Hang Seng (Hong Kong), NIKKEI 225 (Tokyo), KLCI (Malaysia), TW Weighted Index (Taiwan), PSEI (Filipina), Straits Times (Singapura), SENSEX (India), Ho Chi Minh Stock Index (Vietnam), Shanghai Composite (China), dan Shenzhen Comp. (China), dengan keberhasilan kenaikan masing-masing mencapai 1,51%, 1,35%, 1,21%, 1,19%, 1,13%, 0,69%, 0,55%, 0,50%, 0,38%, 0,37%, 0,25%, dan 0,11%.
Sementara itu, hanya dua indeks yang menemani IHSG di zona merah, yaitu CSI 300 (China) dan juga SETI (Thailand) yang terpangkas masing-masing 0,14%, dan 0,11%.
Melemahnya IHSG tersengat sentimen yang datang dari dalam negeri. Badan Pusat Statistik melaporkan Neraca Perdagangan Indonesia mengalami surplus di angka US$3,12 miliar pada Februari 2025, menurun US$380 juta secara bulanan (month-to-month/mtm). Ini salah satunya dipicu neraca dagang komoditas migas yang mengalami defisit tajam.
Kendati masih surplus, tetapi nilainya mengalami penyusutan dibanding bulan sebelumnya.

BPS mencatat, nilai ekspor Indonesia pada Februari 2025 mencapai US$21,98 miliar, atau meningkat 14,05% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan dengan nilai ekspor periode yang sama pada tahun lalu.
Kenaikan nilai ekspor pada Februari 2025 secara tahunan didorong oleh peningkatan ekspor non–migas, terutama lemak dan minyak hewani/ nabati, komoditas logam mulia dan permata, serta komoditas besi dan baja
Nilai ekspor pada Februari juga tercatat meningkat 2,58% secara bulanan (month-to-month/mtm) dibandingkan dengan Januari 2025.
Sedang, perkembangan impor pada Februari 2025 berhasil mencatat total nilai impor sebesar US$18,86 miliar, menguat dengan kenaikan 5,18% (month-to-month/mtm) dibandingkan dengan bulan Januari sebelumnya.
Secara tahunan, nilai impor melesat 2,30% didorong oleh kenaikan impor non–migas yang memberi andil kenaikan mencapai 2,91%. Setelah bulan sebelumnya terkontraksi dalam hingga lebih dari 2%.
Dengan itu, Neraca Perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$3,12 miliar pada Februari 2025, menurun US$380 juta secara bulanan (month-to-month/mtm).
Neraca Perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 58 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Pada saat yang sama, Neraca Perdagangan komoditas migas RI mengalami defisit tajam, mencapai US$1,72 miliar, yang berasal dari defisit hasil minyak maupun minyak mentah.
Berseberangan dengan itu, Bursa Asia justru menyambut sentimen positif, Konsumsi masyarakat China tumbuh lebih cepat di awal tahun ini, dengan Penjualan Ritel berhasil meningkat 4% pada Januari–Februari 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Biro Statistik Nasional mengatakan, hal ini meningkat dari pertumbuhan 3,7% pada Desember yang lalu dan melebihi estimasi, seperti yang diwartakan Bloomberg News.

Produksi Industri menanjak 5,9%, lebih tinggi dari proyeksi median dalam survei Bloomberg terhadap para analis. Pertumbuhan investasi aset tetap naik menjadi 4,1%.
Menyusul laporan yang dirilis oleh Kantor Berita Xinhua, yang mengutip keterangan Dewan Negara tentang rencana Pemerintah China untuk mengambil langkah menghidupkan kembali konsumsi melalui peningkatan pendapatan masyarakat.
Pemerintah juga berupaya menawarkan insentif untuk meningkatkan angka kelahiran untuk mengurangi tekanan deflasi yang melanda ekonomi negeri Tirai Bambu tersebut.
Beijing akan mendorong “pertumbuhan yang wajar” dalam hal upah dan membuat mekanisme yang baik untuk menyesuaikan upah minimum. Pemerintah juga akan mempertimbangkan untuk membangun sebuah sistem subsidi penitipan anak, dan juga memperkuat bagaimana investasi dapat mendukung konsumsi.
(fad/wep)