Dengan demikian, negara tetap dapat memperoleh pendapatan pajak, sedangkan perusahaan yang sudah berkomitmen mendukung penghiliran tetap dapat beroperasi dengan keuntungan yang memadai.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey sebelumnya mengatakan potensi kenaikan tarif pajak akibat pemberlakuan GMT di Indonesia akan memengaruhi ongkos produksi industri nikel di Indonesia.
“Kembali lagi, semuanya itu berpengaruh ke biaya produksi. Ujung-ujungnya di biaya produksi. Biaya produksi ini kan tidak hanya menghitung bahan baku, tetapi keseluruhan [termasuk komponen tarif],” tuturnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia juga menerangkan perusahaan smelter yang telah mendapatkan tax holiday akan berhitung ulang, khususnya terhadap arus kas karena beban usaha makin bertambah untuk memenuhi aturan GMT.
Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 2024, Indonesia memiliki setidaknya 190 proyek smelter nikel; terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.
Dari 190 smelter tersebut, hanya 8 atau 9 yang memiliki teknologi berbasis hidrometalurgi untuk mengolah limonit menjadi bahan baku baterai, sedangkan sisanya berbasis pirometalurgi yang mengolah saprolit menjadi bahan baku baja nirkarat.
Adapun, GMT merupakan tarif pajak minimal yang harus dibayarkan oleh perusahaan multinasional. Di Indonesia, mayoritas smelter nikel merupakan perusahaan investor asing yang kemungkinan besar bakal menjadi objek pajak minimum global ini.
Sementara itu, tax holiday merupakan kebijakan insentif fiskal berupa penghapusan sementara pajak untuk periode tertentu. Kebijakan ini biasanya dirancang untuk mendorong aktivitas ekonomi, baik untuk konsumen maupun bisnis.
Pemerintah akan memberlakukan GMT sebesar 15% yang merupakan bagian dari Pilar 2 Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Pemerintah disebut telah mempersiapkan adopsi pajak tambahan minimum domestik atau Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT).
Pengadopsian itu perlu dilakukan agar Indonesia berhak mengenakan pajak tambahan atas perusahaan multinasional yang masuk ke dalam kriteria wajib pajak dikenakan GMT 15%, sebelum negara lain dapat mengenakan pajak tambahan.
“Untuk memitigasi risiko agar top-up tax tidak dikenakan di negara lain, PMK No. 69/2024 telah dilengkapi dengan Pasal 15A yang menegaskan bahwa wajib pajak yang memanfaatkan tax holiday dapat dikenakan top-up tax di Indonesia,” kata Deputi Bidang I Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan, awal November.
(wdh)