"Kalau cuma itu [pendapat hukum] saja tidak cukup saya rasa. Tetap dibutuhkan aturan baru untuk menjadi dasar hukum mereka yang menyetujui pembayaran atau bertanggung jawab atas dana yang dikeluarkan," katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Rabu (17/5/2023).
Hingga berita ini diturunkan, perwakilan Kejagung tidak memberikan respons atas permintaan komentar dan konfirmasi dari Bloomberg Technoz.
Penjara Taruhannya
Trubus menilai apa yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan beserta jajarannya dalam menahan pembayaran utang tersebut tidak sepenuhnya salah. Sebab, jika pembayaran tetap dilakukan tanpa adanya dasar hukum jelas berpeluang mengantarkan mereka ke jeruji besi.
Walakin, pemerintah bagaimanapun juga tetap harus membayarkan utang rafaksi minyak goreng karena taruhannya adalah kepercayaan pelaku usaha. Mereka bukan tidak mungkin akan kehilangan kepercayaan dan enggan mematuhi aturan pada masa yang akan datang.
"Kemendag ini sebenarnya hati-hati karena dasar hukum pembayaran [utang] tidak ada. Namun, bukan berarti malah tidak membayar, seharusnya ya disiapkan dasar hukum baru permendag [peraturan menteri perdagangan] baru untuk membayar itu, tidak perlu ada legal opinion," paparnya.
Sebagai catatan, dasar hukum yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS). Beleid tersebut sudah tidak berlaku setelah diterbitkannya Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Jika memang pemerintah yang dalam hal ini adalah Kemendag bersikeras untuk tetap menjadikan pendapat hukum Kejagung, ada satu hal yang harus diperhatikan, yakni persetujuan penugasan.
"Sampai dengan saat ini, belum ada informasi surat persetujuan atau hitam di atas putih antara pemerintah dan pelaku usahanya itu bagaimana. Seharusnya ada kan, itu bisa jadi dasar juga, bukan hanya permendag terkait," ujar Trubus.
Hasil Verifikasi Sucofindo
Selain itu, hasil verifikasi oleh verifikator independen PT Superintending Company Indonesia (Sucofindo) juga harus dibuka ke publik. Hasil verifikasi tersebut yang menjadi acuan untuk mengetahui berapa sebenarnya nominal utang itu.
"Kalau klaim dari peritel modern itu kan Rp344,15 miliar. Nah sebenarnya berapa itu harus dibuka. Ada peluang klaim tersebut terlalu besar, verifikasi yang akan menjawab ini," tegasnya.
Seperti diketahui, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak pemerintah untuk segera membayar utang rafaksi minyak goreng yang diklaim mencapai Rp344,15 miliar ke 31 peritel modern. Utang tersebut terkait dengan kebijakan minyak goreng satu harga yang dijalankan pada 19-31 Januari 2023.
Menurut Aprindo, besaran utang pemerintah tersebut dihitung berdasarkan rerata selisih harga keekonomian minyak goreng senilai Rp17.260/liter dengan harga jual yang ditetapkan oleh Kemendag secara sepihak senilai Rp14.000/liter.
(rez/wdh)