Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Kinerja rupiah sepekan lalu masih terjerembab di zona merah dengan pelemahan mencapai 0,34%, menjadikannya sebagai mata uang terlemah di Asia urutan keempat pekan lalu dan akhirnya ditutup di level Rp16.350/US$.

Pelemahan rupiah pekan lalu masih terpengaruh oleh kuatnya arus keluar dana asing, baik dari pasar saham domestik, pasar surat berharga negara (SBN) hingga dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Pelemahan rupiah terjadi bahkan ketika indeks dolar Amerika Serikat (AS) membukukan penurunan 'hanya' sebesar 0,12% pada pekan lalu.

Mengacu data Bloomberg, indeks dolar AS bergerak melemah sepanjang pekan lalu seiring dengan menguatnya kekhawatiran pasar akan terjadinya resesi di ekonomi terbesar di dunia tersebut. Selain itu, ketidakpastian yang timbul akibat perang dagang telah membuat para pemilik modal melarikan dana mereka ke instrumen surat utang AS, juga ke emas, ketimbang menyerbu dolar AS.

Namun, lemahnya dolar AS ternyata tidak cukup memberi ruang penguatan pada rupiah. Rupiah pada pekan lalu sempat menyentuh level terlemah di Rp16.445/US$ jelang laporan Kementerian Keuangan tentang kinerja APBN di awal tahun yang mencetak defisit akibat kejatuhan penerimaan pajak.

Rupiah yang pada pekan sebelumnya ditutup di Rp16.295/US$ akhirnya menutup pekan kedua Maret di level Rp16.350/US$ di pasar spot, tergerus 0,33%. Sementara kurs JISDOR Bank Indonesia juga ditutup melemah 0,34% di level Rp16.392/US$.

Risiko investasi

Pelemahan rupiah lebih banyak tertekan oleh arus keluar modal asing dari pasar domestik. Laporan Bank Indonesia mencatat, berdasarkan data transaksi 10-13 Maret 2025, investor nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp10,15 triliun dari pasar keuangan RI.

Angka net sell itu terdiri atas jual neto Rp1,92 triliun di pasar saham, Rp5,25 triliun di pasar SBN, dan Rp2,97 triliun di SRBI.

Alhasil, selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen s.d. 13 Maret 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp22,21 triliun di pasar saham, beli neto Rp18,35 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp6,55 triliun di SRBI.

Hengkangnya investor asing dari pasar domestik berlangsung di kala risiko investasi di Indonesia melonjak tajam hingga 7% pekan lalu. Premi Credit Default Swap (CDS) RI tenor 5 tahun menyentuh level tertinggi sejak November 2023 silam.

Tekanan jual modal asing dari pasar domestik selain dipengaruhi oleh sentimen eksternal terkait perang dagang dan kekhawatiran resesi AS, terutama juga karena faktor domestik.

Laporan kinerja keuangan negara pekan lalu yang memperlihatkan kejatuhan penerimaan pajak hingga membuat defisit fiskal terjadi lebih cepat di awal tahun, membuat investor khawatir.

Defisit APBN tahun ini berpotensi menyentuh batas atas yang diperbolehkan Undang-Undang, bahkan potensial melampauinya apabila Pemerintah RI tidak mengatasinya dengan mengurangi belanja atau menambah penerimaan demi menambal anggaran yang tekor.

"Dalam analyst meeting realisasi APBN Februari, Kementerian Keuangan menyatakan tidak akan menarik dividen BUMN tahun ini yang sudah dianggarkan sebesar Rp90 triliun. Dividen tersebut akan diserahkan ke Danantara untuk diinvestasikan pada sektor smelter nikel, energi dan infrastruktur data center. Sehingga, APBN 2025 akan menghadapi kekurangan pendapatan senilai Rp150 triliun hingga Rp160 triliun. Apabila hal ini tidak diatasi melalui pengurangan belanja atau mencari penghasilan dari pos lain, maka defisit fiskal tahun ini berisiko naik menjadi -3,16% hingga 3,19% terhadap GDP [Gross Domestic Product]," kata tim analis Mega Capital Sekuritas pekan lalu.

Sebelumnya, lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, juga melansir peringatan risiko yang mungkin timbul terkait kehadiran Danantara.

Dalam laporan yang dirilis pekan ini, Fitch menilai pembentukan Danantara berpotensi meningkatkan liabilitas kontijensi Pemerintah RI. Potensi pembiayaan melalui Danantara atau atau badan usaha milik negara (BUMN) di bawahnya dapat meningkatkan risiko fiskal dalam jangka panjang.

“Pemanfaatan Danantara untuk pembiayaan proyek-proyek nasional dapat menciptakan kewajiban utang tambahan bagi pemerintah, terutama jika dana yang dikelola tidak cukup untuk menutupi kebutuhan investasi,” tulis Fitch dalam laporannya, dikutip Rabu (12/3/2025).

(rui)

No more pages