Logo Bloomberg Technoz

Richard Henderson - Bloomberg News

Bloomberg, Bursa saham Asia dibuka melemah pada Jumat (14/03/2025) pagi setelah bursa AS anjlok melewati batas psikologis penting akibat dampak perang dagang yang dipicu oleh Presiden AS Donald Trump.

Saham berjangka Jepang dan Australia sama-sama mencatat penurunan. Indeks S&P 500 turun 1,4% ke level terendah dalam enam bulan, memperpanjang penurunannya dalam tiga minggu terakhir hingga lebih dari 10%, yang secara teknis dikategorikan sebagai koreksi pasar. Sementara itu, Nasdaq 100, yang juga mengalami koreksi, turun 1,9%. Di sisi lain, Treasury AS mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap aset safe haven.

China menjadi satu-satunya titik terang di tengah kondisi pasar yang suram. Saham berjangka Hong Kong naik lebih dari 1% setelah indeks saham China yang terdaftar di AS berhasil menghindari kejatuhan besar pada Kamis (13/03/2025), hanya mencatatkan penurunan sebesar 0,2%.

Tekanan jual yang terus berlangsung telah menghapus nilai pasar sebesar US$5 triliun dari indeks saham utama AS. Saham-saham berkapitalisasi besar yang sebelumnya mendominasi pasar mengalami penurunan tajam, memicu efek domino ke aset spekulatif lainnya seperti saham teknologi yang belum mencetak keuntungan dan saham yang paling sering mengalami short-selling.

Selain itu, dana investasi berbasis obligasi sampah (junk bonds) senilai US$8 miliar mengalami salah satu kerugian terbesar tahun ini. Bitcoin juga sempat anjlok pada Kamis sebelum stabil kembali pada Jumat pagi di Asia.

“Dalam hitungan minggu, pasar saham yang sebelumnya mencetak rekor kini masuk ke wilayah koreksi,” kata Adam Turnquist, analis di LPL Financial. “Ketidakpastian terkait tarif perdagangan menjadi penyebab utama tekanan jual, yang semakin memperburuk kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi.”

Pasar obligasi AS mengalami penguatan pada Kamis, dengan imbal hasil Treasury 10 tahun turun empat basis poin menjadi 4,27%, sementara indeks dolar AS naik tipis karena investor mencari aset yang lebih aman.

Dalam eskalasi perang dagang terbaru, Trump mengancam akan menerapkan tarif 200% untuk anggur, sampanye, dan minuman beralkohol dari Eropa. Pada hari yang sama, ia juga menegaskan tidak akan mencabut tarif atas baja dan aluminium yang baru saja diberlakukan pekan ini, serta tetap berencana memberlakukan tarif timbal balik yang lebih luas terhadap mitra dagang global mulai 2 April.

Mantan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin berusaha meredam kekhawatiran investor, dengan menyatakan bahwa risiko resesi AS tidak signifikan. Ia juga menilai koreksi pasar saat ini wajar dan tidak perlu disikapi secara berlebihan.

“Kami masuk ke pasar yang sudah berada di valuasi tinggi, jadi menurut saya koreksi 5% hingga 10% pada S&P 500 atau Nasdaq memang masuk akal,” ujar Mnuchin dalam wawancara dengan Bloomberg pada Kamis.

Sinyal Resesi di AS

Model resesi berbasis Treasury yang dikembangkan oleh bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) telah mengindikasikan risiko resesi dalam satu tahun ke depan sejak tahun lalu, dan kemungkinan prediksi tersebut akan terbukti benar jika ketidakpastian perdagangan terus menekan aktivitas ekonomi.

Menurut analis Bloomberg Intelligence, Gina Martin Adams dan Michael Casper, model ini secara historis selalu akurat dalam memprediksi resesi jika probabilitasnya melampaui 30% dalam satu tahun ke depan. Saat ini, probabilitas tersebut berada di 29,76%.

“Pasar obligasi AS tengah memberikan sinyal resesi, yang memperkuat sentimen risk-off di pasar saham,” ujar keduanya. “Namun, pada saat yang sama, pasar kredit tetap relatif stabil, memberikan indikasi ketenangan.”

Meski demikian, strategi pasar dari JPMorgan Chase & Co yang dipimpin oleh Nikolaos Panigirtzoglou dan Mika Inkinen menilai bahwa risiko resesi yang diprediksi oleh saham jauh lebih besar dibandingkan dengan yang tercermin di pasar kredit. Ini membuka peluang adanya kejutan positif jika pasar obligasi terbukti lebih akurat.

“Dalam jangka pendek, ketidakpastian tetap tinggi karena pemerintahan Trump semakin memprioritaskan kebijakan yang lebih disruptif. Namun, ada risiko bahwa pasar kreditlah yang akan terbukti benar,” tulis mereka dalam sebuah catatan analisis.

Di pasar komoditas, harga minyak kembali turun, dengan West Texas Intermediate (WTI) merosot 1,7% hingga diperdagangkan di bawah US$67 per barel. Penurunan ini terjadi setelah minyak mencatat kenaikan 2,2% pada Rabu, yang merupakan lonjakan harian terbesar dalam hampir dua minggu.

Sementara itu, harga emas mencapai rekor tertinggi seiring meningkatnya ketegangan perdagangan global, mendorong permintaan terhadap aset safe haven.

(bbn)

No more pages