Selain itu, Firman menyebut kewajiban untuk menjalankan struktur dan skala upah sesuai Permenaker No. 7/2017 tentang Struktur dan Skala Upah juga memberatkan pelaku industri alas kaki. Struktur dan skala upah yang diatur dalam regulasi tersebut meliputi aspek golongan, masa kerja, jabatan, pendidikan, dan kompetensi dari tenaga kerja.
“Kalau yang kurang dari satu tahun, ya bisa pakai ketentuan UMK. Kalau yang sudah lebih dari itu ikut [ketentuan] struktur upah,” ujarnya.
Penyebab PHK Massal
Kondisi tersebut yang pada akhirnya memaksa pelaku industri alas kaki merumahkan pekerjanya atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Keputusan sulit itu mau tidak mau diambil lantaran permintaan dari negara-negara tujuan ekspor, khususnya Eropa dan Amerika Serikat (AS) anjlok hingga 40% pada 2022.
“Perlambatan ekonomi global yang terjadi saat ini berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat. Akhirnya terjadi overstock di gudang-gudang peritel, khususnya di Eropa dan AS. Permintaan pun berkurang,” tuturnya.
Firman menyebut pelaku industri alas kaki hanya bisa pasrah. Sebab, sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda perlambatan ekonomi global akan segera berakhir.
“Belum masuk informasi order baru. Belum ada indikator yang menunjukkan pemulihan ekonomi global secara signifikan. Bank-bank di AS tutup, belum ada titik temu soal utang pemerintah AS. Masih banyak masalah,” keluhnya.
Berdasarkan catatan Aprisindo, perlambatan ekspor dialami oleh industri alas kaki sejak Juli 2022. Sejak Juli 2022 hingga April 2023, data ekspor perusahaan anggota Aprisindo hanya tumbuh dengan rerata rata 29%, padahal sebelumnya pertumbuhan ekspor mencapai 30%—45%.
Nasib Pekerja Adidas
Hal yang sama diungkapkan oleh Direktur Utama PT Panarub Industry (Panarub) Budiarto Tjandra. Belum lama ini, perusahaan yang memproduksi produk alas kaki untuk Adidas AG itu merumahkan 1.400 pekerjanya di pabrik Tangerang, Banten.
Menurut Budiarto, perusahaan terpaksa melakukan PHK lantaran terjadi penurunan permintaan oleh merk asal Jerman itu. Sebagian besar alas kaki yang diproduksi oleh Panarub diekspor ke Eropa dan AS.
“Permintaan buyer menurun, inventory di sana masih tinggi. Penurunan ekspor alas kaki itu tahun lalu mencapai 17%, padahal kita tahu selama ini industri alas kaki Indonesia sangat bergantung pada ekspor,” katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Rabu (17/5/2023).
Budiarto mengatakan PHK menjadi satu-satunya upaya yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan. Mengalihkan fokus pasar –khususnya ke dalam negeri– bukan perkara mudah lantaran sudah ada pemain lainnya yang menguasai pasar.
“Kalau market domestik ini sudah ada yang memegang pasarnya. Dari keseluruhan produksi alas kaki Indonesia, [sebanyak] 39% itu untuk pasar domestik. Sudah ada yang mengisi pasarnya,” bebernya.
Sudah Diantisipasi
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan pemerintah menyadari bahwa menurunnya permintaan menjadi ancaman bagi industri manufaktur di dalam negeri, termasuk industri alas kaki.
Oleh karena itu, sebagai langkah antisipasi dikeluarkan Permenaker No.5/2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
“Itu sudah kami antisipasi dengan adanya Permenaker No. 5/2023. Itu kami salah satu upaya kami, sekali lagi pemerintah telah berusaha keras untuk menekan jangan sampai terjadi PHK,” ujarnya
Pasal 7 dalam beleid itu memaktub perihal kebijakan penyesuaian upah pada perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global.
"[…] Penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75% dari upah yang biasa diterima," tulis ayat pertama pasal tersebut.
Kelonggaran penyesuaian upah tersebut, menurut klaim Kemenaker, diambil berdasarkan kesepakatan bipartit antara pelaku usaha dan buruh.
(rez/wdh)