Logo Bloomberg Technoz

Akan tetapi, bila membandingkan kinerja penjualan eceran pada momen jelang musim perayaan tahun-tahun sebelumnya, capaian bulan Februari lalu adalah yang terendah setidaknya sejak Pandemi Covid-19.

Pengunjung berbelanja pakaian di Pasar Tasik, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (27/2/2025). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Tahun lalu, misalnya, Lebaran jatuh pada pertengahan April. Alhasil, pada pertengahan Maret, bulan Ramadan sudah dimulai. Penjualan ritel pada Maret tahun lalu mencapai 9,9% mom dan 9,3% yoy.

Sementara pada 2023 di mana Lebaran jatuh pada akhir April, penjualan eceran pada bulan Maret juga melejit tinggi 7% mom dan 4,9% yoy. Berlanjut pada April tahun itu dengan penjualan ritel melesat 12,8% mom.

Sedang pada tahun 2022 ketika Idulfitri dirayakan pada awal Mei, penjualan ritel juga tumbuh tinggi pada bulan sebelumnya mencapai 8,5% yoy dan 16,5% mom.

Hanya saat pagebluk melanda pada 2020, penjualan eceran menjelang musim perayaan, mencatat penurunan hingga terkontraksi atau tumbuh negatif sampai double digit. Adapun pada 2021, lajunya tinggi karena low base effect tahun sebelumnya.

Deskripsi Januari (mom) Januari (yoy) Februari (mom) Februari (yoy)
Suku Cadang dan Aksesori +2.8% +15.2% -1.4% +15.9%
Makanan, Minuman dan Tembakau -4.4% +0.9% +0.6% -1.7%
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor -7.1% -1.4% +1.3% +4.2%
Peralatan Informasi dan Komunikasi -11.4% -3.4% +6.6% +8.0%
Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya -4.1% -9.1% -0.8% -5.3%
Barang Budaya dan Rekreasi -6.5% +1.9% -0.7% +6.8%
Barang Lainnya -9.4% -3.6% +0.2% +2.5%
Sandang -12.8% -5.8% +0.6% +0.8%
Indeks Penjualan Riil (total) -4.7% +0.5% +0.8% -0.5%

Sumber: Survei Penjualan Eceran edisi Februari, Bank Indonesia

Yang lebih mengejutkan lagi, kelesuan penjualan ritel bahkan terjadi di sektor yang secara tradisional biasanya menikmati 'berkah' terbesar menjelang musim perayaan.

Pada Februari lalu, penjualan eceran di sektor Makanan, Minuman dan Tembakau, mencatat turun hingga 1,7% yoy. Sedangkan secara bulanan, hanya membukukan pertumbuhan 0,6% mom.

Padahal tahun-tahun sebelumnya, setiap jelang Ramadan dan Idulfitri, sektor tersebut hampir selalu membukukan pertumbuhan nan tinggi bahkan sampai double digit.

Tahun lalu, sektor Makanan & Minuman membukukan pertumbuhan 9,7% mom pada Maret 2024, sebulan sebelum Idulfitri dirayakan.

Sedangkan pada 2023 ketika Idulfitri jatuh pada akhir bulan April, penjualan ritel sektor Makanan, Minuman dan Tembakau, melesat hingga 9,4% yoy dan sebesar 8,4% mom pada Maret 2023. 

Selain sektor Makanan dan Minuman, penjualan eceran di segmen Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya juga terkontraksi pada Februari 2025 sebesar minus 5,3% yoy dan minus 0,8% mom.

Perlambatan kuartalan

Yang juga penting disoroti adalah prakiraan kinerja penjualan eceran pada kuartal 1-2025. Hasil survei mencatat, laju penjualan ritel pada kuartal pertama tahun ini kemungkinan melambat bahkan nyaris terkontraksi dengan pertumbuhan hanya 0,02% dari tadinya tumbuh 1,4% pada kuartal IV-2024.

Pertumbuhan penjualan ritel pada kuartal 1-2025 itu akan menjadi yang terendah sejak kuartal III-2021 di kala perekonomian mati suri karena pandemi hingga Indeks Penjualan Riil terkontraksi atau turun 2,4%.

Sektor Makanan, Minuman dan Tembakau, lagi-lagi mencatat kinerja buruk dengan penjualan ritel turun 0,4% pada kuartal pertama tahun ini. Selain itu, sektor Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya juga, lalu sektor Barang Lainnya serta Sandang, juga mencatat kontraksi masing-masing sebesar -7,2%, lalu -0,6% dan -2,5% pada kuartal pertama tahun ini.

Suasana penjualan sepatu di Taman Puring, Jakarta, Senin (25/9/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Melihat kinerja di beberapa daerah, tercatat bahwa penjualan eceran di beberapa kota cakupan survei pada Februari membukukan penurunan secara tahunan. Yaitu di Kota Medan (-7,6%), lalu Manado (-7%), Banjarmasin (-2,5%) serta Bandung (-2,6%). Sedangkan di beberapa kota lainnya seperti Makassar, Surabaya dan Denpasar, penjualan eceran masih tumbuh positif.

Sementara secara bulanan atau dibandingkan Januari 2025, mayoritas penjualan eceran masih terakselerasi terutama di Bandung (+2,3%), lalu Surabaya (+0,4%) dan Denpasar (+0,5%), serta Semarang (+2,6%).

Lantas, bagaimana dengan perkiraan penjualan ke depan setelah musim perayaan berlalu? Hasil survei mengungkapkan, penjualan eceran pada April atau setelah perayaan Idulfitri berakhir, akan menurun lagi. 

Indeks Ekspektasi Penjualan pada April turun jadi 140,1 dari tadinya sebesar 154,4 pada Maret. "Hal itu sejalan dengan normalisasi permintaan masyarakat pasca-Ramadan dan Idulfitri," jelas Bank Indonesia.

Sementara penjualan eceran pada enam bulan setelah survei, atau pada Juli 2025, diperkirakan lebih tinggi seiring dengan berlangsungnya musim liburan anak sekolah. Indeks Ekspektasi Penjualan pada Juli mencapoai 148,9, naik dibandingkan bulan Juni sebesar 134,8.

Ekspektasi harga

Segera setelah berakhirnya musim perayaan, tekanan harga barang dan jasa diperkirakan akan kembali melandai. Indeks Ekspektasi Harga pada April atau setelah Lebaran, tercatat sebesar 159,6. Angka itu lebih rendah dibanding bulan sebelumnya sebesar 179.

Adapun ekspektasi inflasi pada Juli kembali meningkat dengan perkiraan kenaikan permintaan barang dan jasa, dengan Indeks Ekspektasi Harga mencapai 155,4, sedikit naik dibanding bulan sebelumnya 152,3. "Itu antara lain dipengaruhi oleh prakiraan peningkatan permintaan pada periode puncak liburan sekolah," kata BI.

Daya beli terpuruk

Laporan penjualan eceran terbaru yang dirilis oleh Bank Indonesia tersebut mempertegas terjadinya masalah daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia. 

Data itu sejalan dengan laju deflasi pada Februari lalu. Meski deflasi disebut lebih karena adanya diskon tarif listrik, fakta bahwa sektor makanan dan minuman juga mencatat deflasi bulanan dengan IHK turun -0,40% adalah fenomena yang juga jarang terjadi.

Penjualan ritel yang lesu pada bulan jelang puncak konsumsi masyarakat juga tidak mengagetkan bila melihat kondisi keuangan konsumen pada Februari.

Seperti dilansir dalam Survei Konsumen yang rilis sehari sebelumnya, terindikasi bahwa kondisi penghasilan konsumen pada Februari memburuk dibanding enam bulan lalu terutama di kelas konsumen bawah dan menengah atas.

Penghasilan yang memburuk akhirnya mendorong semua kelas konsumen mengurangi alokasi pendapatan untuk ditabungkan demi mempertahankan konsumsi. Itu terlihat dari penurunan rasio tabungan hingga ke level terendah sejak April 2021, ketika proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi meningkat.

(rui)

No more pages