Bloomberg Technoz, Jakarta - Berbagai kebijakan yang kontroversial di tengah perekonomian yang masih menghadapi kelesuan konsumsi domestik serta ketidakpastian global, telah memicu respon yang kuat dari pasar keuangan sejauh ini.
Arus keluar modal asing dari pasar saham tak terbendung, mencapai Rp23,61 triliun sepanjang tahun ini. Berbagai data yang baru dirilis juga kian menegaskan tantangan kelesuan ekonomi domestik sebaiknya tidak diremehkan. Rasio tabungan masyarakat RI jatuh ke level terendah sejak 2021 lalu ketika kondisi penghasilan masyarakat melemah sampai berdampak pada daya beli.
Kondisi ekonomi dinilai akan semakin memburuk dalam enam bulan ke depan hingga menurunkan keyakinan konsumen ke level terendah dalam tiga bulan, ketika lapangan kerja makin sulit didapatkan dan arus pemutusan hubungan kerja kian meluas ke berbagai industri.
Potret suram perekonomian domestik juga akhirnya memantik banyak respon dari institusi keuangan asing yang mengelola dana global. Sebagian dari bank investasi asing itu telah menurunkan rekomendasi mereka untuk aset-aset saham maupun surat utang Indonesia. Sebagian yang lain memperingatkan tentang potensi lonjakan defisit fiskal dan prospek pertumbuhan yang potensial lebih rendah tahun ini.
Yang terbaru, salah satu bank terbesar di Singapura, OCBC, memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal 1-2025 hanya akan tumbuh 4,8%.
Prediksi itu lebih rendah dibanding perkiraan sebelumnya di angka 5%. Penurunan prediksi pertumbuhan kuartal 1-2025 tersebut menyusul langkah pemotongan anggaran oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto yang dinilai akan berdampak pada pertumbuhan jangka pendek.

Mengacu Bloomberg News, OCBC memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk keseluruhan tahun ini juga hanya mencapai 4,9%, lebih kecil dibanding prediksi sebelumnya sebesar 5,1%.
"Dampak jangka pendek beberapa kebijakan kemungkinan akan melemahkan pertumbuhan ekonomi pada separuh pertama tahun ini akan tetapi masih ada peluang perbaikan pertumbuhan pada semester II nanti dan pada 2026," kata Ekonom OCBC Lavanya Venkateswaran dan Ahmad A. Enver dalam catatannya hari ini.
Outlook fiskal Indonesia dinilai masih berada dalam 'ketidakpastian yang tinggi' perihal garis waktu realokasi anggaran serta pelaksanaannya. Lalu, kurangnya tambahan sumber pendapatan negara, ditambah modal awal pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara yang akan berdampak pada penerimaan.
"Maka itu, kemungkinan terjadinya kelambatan fiskal pada 2025 tidak dapat dikesampingkan," kata ekonom OCBC.
Penurunan prediksi pertumbuhan ekonomi dari OCBC, memperpanjang daftar penilaian yang lebih suram dari berbagai lembaga keuangan global.
Sehari sebelumnya lembaga pemeringkat global Fitch Ratings juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI bisa melemah hanya 4,9% pada 2026 setelah tahun ini diprediksi melambat di 5%.
Meski angka itu melampaui rata-rata pertumbuhan negara sejenis yang sebesar 3,3%. Potensi pelemahan pertumbuhan juga akan menjadi kemunduran bagi ambisi Presiden Prabowo menggenjot PDB tumbuh hingga 8%. "Target itu terlihat menantang tanpa reformasi struktural yang signifikan," kata Fitch.
Selain itu, kendati mempertahankan peringkat surat utang negara di kategori investment grade, dengan peringkat 'BBB' dan outlook stabil, Fitch juga memperingatkan bahwa outlook fiskal Indonesia ke depan masih sangat tidak pasti, terutama dalam jangka menengah.

Defisit fiskal RI pada tahun ini diperkirakan naik menjadi 2,5% dari PDB, lebih tinggi ketimbang 2,4% pada 2024. "Kami memperkirakan ada kenaikan defisit fiskal yang ringan dalam beberapa tahun mendatang untuk mengakomodasi belanja tambahan pemerintah dan investasi infrastruktur," demikian dikutip dari Fitch.
Catatan dari Fitch Ratings melengkapi beberapa analisis 'panas' yang datang dari lembaga asing lain.
Bank investasi global yang berpusat di New York, Goldman Sachs Group Inc., menurunkan rekomendasi untuk aset-aset investasi Indonesia, baik saham maupun surat utang, menggarisbawahi kenaikan risiko fiskal menyusul berbagai kebijakan yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto.
Goldman menurunkan peringkat saham Indonesia dari 'overweight' menjadi 'market weight' dan menyesuaikan rekomendasi untuk surat utang negara tenor 10 tahun sampai 20 tahun menjadi 'neutral' dari tadinya menjadi salah satu pilihan obligasi negara favorit.
Penurunan rekomendasi investasi aset RI dari Goldman senada dengan Morgan Stanley. Institusi jasa keuangan global yang berpusat di New York itu, juga memangkas rekomendasi saham MSCI Indonesia dari 'equal weight' menjadi 'underweight', dalam riset yang dirilis 19 Februari.
Keputusan Goldman itu keluar setelah sebelumnya mereka melansir perkiraan kenaikan defisit fiskal Indonesia tahun ini menjadi 2,9% dari Produk Domestik Bruto, dari semula 2,5%.
Perkiraan serupa juga datang dari perusahaan riset multinasional Inggris, anak usaha Fitch Solutions dari Fitch Group, yaitu BMI. Lembaga ini memprediksi defisit APBN tahun ini akan menyentuh 3%, batas atas yang diizinkan oleh Undang-Undang, menyusul langkah belanja ekspansif Prabowo di tengah absennya rencana konkret memperluas basis pajak.
Analisis BMI menyebut, defisit fiskal rata-rata akan di kisaran 3% selama lima tahun ke depan. "Kurangnya perencanaan konkret untuk memperluas basis pajak bisa membahayakan posisi fiskal Indonesia karena presiden ingin meningkatkan belanja publik untuk agenda kebijakannya," demikian dinyatakan oleh BMI dalam catatannya.
Mengacu pada hasil survei Bloomberg terhadap 33 ekonom sampai akhir Februari lalu, defisit fiskal RI diperkirakan melebar menjadi 2,6% dari PDB pada kuartal ini. Lalu, angkanya akan makin meningkat menjadi 2,9% pada kuartal II-2025. Baru pada separuh kedua tahun ini, defisit fiskal sedikit turun jadi 2,8% pada kuartal III-2025 dan sebesar 2,7% pada kuartal IV-2025.

Para ekonom juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini akan cenderung lesu dengan laju hanya 5%. Pada kuartal 1-2025, pertumbuhan ekonomi RI diprediksi akan terkontraksi 0,90% quarter-to-quarter (qtq), lebih buruk dibanding prediksi sebelumnya yang masih memperkirakan akan ada pertumbuhan positif 0,20%.
Pada kuartal 2-2025, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 3,60% qtq, juga lebih tinggi dibanding perkiraan sebelumnya sebesar 2,60%.
Pada 2025, perekonomian RI juga diperkirakan masih menghadapi risiko resesi. "Potensi terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan mencapai 5%, berdasarkan 7 responden survei," demikian dilansir dari laporan survei.
"Kami memprediksi kebijakan tarif AS sebesar 10% pada China akan berdampak langsung menurunkan 0,2 poin persentase laju PDB Indonesia pada 2025. Itu terutama karena ekspor yang melemah dan arus investasi tetap yang juga turun. Hal itu berarti, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melambat di kisaran 4,9% tahun ini, di bawah target Pemerintah RI sebesar 5,2%. Sementara, rencana Presiden Prabowo memangkas anggaran, bisa menjadi penghambat [pertumbuhan] tambahan," kata Lloyd Chan, Ahli Strategi di MUFG Bank, salah satu bank terbesar di Jepang.
(rui/aji)