Trump dan Xi belum berbicara sejak percakapan telepon menjelang pelantikan Trump, meskipun presiden AS itu sempat menyebut pada Februari lalu bahwa pembicaraan lanjutan akan segera dilakukan. Namun, menurut sumber yang memahami kebijakan Gedung Putih, hingga kini belum ada rencana pertemuan langsung antara kedua pemimpin tersebut.
Seorang pejabat Gedung Putih menyatakan bahwa AS telah menyampaikan ekspektasinya dengan jelas kepada China. Namun, Departemen Keuangan dan Perdagangan AS tidak memberikan tanggapan atas permintaan komentar, begitu pula dengan Kementerian Luar Negeri, Perdagangan, dan Keuangan China.
Menteri Perdagangan China, Wang Wentao, mengatakan pekan lalu bahwa ia telah mengirim surat kepada Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pada Februari lalu, berharap kedua pihak bisa bertemu di waktu yang tepat. Bulan lalu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent juga mengadakan percakapan telepon dengan mitranya dari China, He Lifeng, yang lebih banyak berisi keluhan dari kedua belah pihak.
Pejabat China lebih memilih jalur komunikasi antara Menteri Luar Negeri Wang Yi dan Penasihat Keamanan Nasional AS Mike Waltz, seperti yang diterapkan di era pemerintahan Biden. Namun, ketika Wang mengunjungi New York bulan lalu untuk menghadiri pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tidak ada seorang pun dari pemerintahan Trump yang menghubunginya. Seorang sumber menyebut bahwa Beijing menganggapnya sebagai peluang yang terlewat untuk membuka saluran komunikasi penting.
Kurangnya komunikasi yang efektif ini mulai menimbulkan frustrasi di Beijing. Wu Xinbo, penasihat Kementerian Luar Negeri China dan direktur Pusat Kajian Amerika di Universitas Fudan, menilai bahwa Trump belum memiliki strategi yang jelas dalam bernegosiasi dengan China.
"Tim Trump belum benar-benar menentukan apa yang mereka inginkan dari China. Tidak ada kebijakan yang koheren," ujar Wu.
Xi Jinping telah menginstruksikan para pejabatnya untuk tetap tenang dalam menghadapi kebijakan AS dan merespons dengan langkah strategis. Sebagai contoh, China memberlakukan tarif pada produk pertanian seperti kedelai—pilihan yang dirancang untuk menekan basis pemilih Trump tanpa menyebabkan dampak besar di dalam negeri. Namun, kesabaran tersebut mulai diuji.
Dalam konferensi pers pekan lalu, Wang Wentao secara terbuka menyebut tarif AS sebagai "jahat" dan menuduh Trump melakukan "tindakan bermuka dua."
China juga merasa kecewa karena upayanya dalam menekan perdagangan fentanyl—salah satu bidang kerja sama dengan pemerintahan Biden—tidak mendapatkan pengakuan dari AS. Bulan ini, Beijing menerbitkan buku putih yang merinci langkah-langkah yang telah diambil, termasuk memperluas daftar bahan kimia yang diawasi serta bekerja sama dengan aparat penegak hukum AS.
Menurut Da Wei, direktur Pusat Keamanan Internasional dan Strategi di Universitas Tsinghua, China bersedia mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan dan individu yang terlibat dalam produksi ilegal prekursor fentanyl. Namun, AS belum memberikan bukti konkret.
"Pendekatan AS sangat sepihak. Jika konsumsi tidak dikendalikan, meskipun China menghentikan ekspor prekursor fentanyl, negara lain akan mengisi celah tersebut," ujar Da.
Waktu Tarif
Pemberlakuan tarif AS juga menambah ketegangan. Gelombang pertama diumumkan saat liburan nasional terbesar di China, di mana hampir semua pejabat pemerintahan sedang cuti. Sementara itu, tarif kedua diumumkan sehari sebelum acara politik tahunan terbesar Beijing. Hal ini dipandang sebagai sinyal buruk oleh China, menurut sumber yang mengetahui situasi tersebut.
Trump sendiri mengirimkan sinyal yang beragam terkait China. Ia merilis kebijakan perdagangan yang secara tegas menargetkan China, tetapi di sisi lain juga menyatakan bahwa kesepakatan masih memungkinkan.
"Kami ingin mereka berinvestasi di Amerika Serikat," ujar Trump bulan lalu, seraya menambahkan bahwa hubungan AS-China "akan menjadi sangat baik."
Meski terbuka untuk bernegosiasi, Xi enggan menerima tekanan AS untuk mengubah undang-undang domestiknya. Saat perang dagang pertama terjadi, China pernah menjatuhkan hukuman mati yang ditangguhkan kepada penyelundup fentanyl sebagai bukti kebijakan zero tolerance, tetapi kini pemerintahan Trump menginginkan lebih.
John Gong, mantan penasihat Kementerian Perdagangan China yang kini menjadi profesor di Universitas Ekonomi dan Bisnis Internasional, menilai permintaan AS terlalu berlebihan.
"Meminta pemerintah asing untuk mengubah sistem hukumnya, terutama dalam hal yang berdampak pada kehidupan manusia, adalah permintaan yang sangat besar," ujarnya.
Dalam setiap pembicaraan dengan China, AS kemungkinan akan menekan lima isu utama: fentanyl, implementasi perjanjian perdagangan dari masa jabatan pertama Trump, kontribusi China dalam penciptaan lapangan kerja di AS, dominasi dolar dalam perdagangan global, serta peran Xi dalam mengakhiri perang di Ukraina.
Nasib aplikasi media sosial asal China, TikTok, juga berpotensi menjadi agenda diskusi. Trump baru-baru ini menyatakan bahwa ia sedang bernegosiasi dengan empat calon pembeli. Setiap kesepakatan penjualan TikTok harus mendapat persetujuan dari Beijing.
China memahami bahwa mereka harus menawarkan sesuatu kepada Trump, seperti meningkatkan impor produk energi dan pertanian AS, berinvestasi dalam industri manufaktur AS, atau membuka sektor jasa mereka bagi investasi Amerika. Namun, Beijing tetap enggan untuk terburu-buru dalam mencapai kesepakatan yang bisa merugikan mereka di masa depan.
Mengingat tekanan tarif yang semakin meningkat, AS tampaknya berharap China akan segera mengambil langkah kompromi. Namun, Beijing masih berhati-hati untuk tidak terjebak dalam kesepakatan yang bisa berdampak negatif di dalam negeri.
Neil Thomas, peneliti politik China di Asia Society Policy Institute, menilai bahwa China tidak ingin menghadapi situasi yang tidak terkendali.
"Para diplomat China menginginkan jaminan mutlak bahwa pemimpin mereka tidak akan dipermalukan," ujar Thomas. "Hal terakhir yang diinginkan Xi adalah diserang secara terbuka."
(bbn)


























