Logo Bloomberg Technoz

Di sisi lain, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim mengungkapkan sejauh ini belum ada pembicaraan dengan Bapanas terkait dengan opsi dibolehkannya kembali penjualan Minyakita di ritel modern. Padahal, Bapanas telah mengumumkan ke publik perihal rencana tersebut.

“Belum, belum ada pembicaraan [dengan Bapanas]. Ini yang mau kami didiskusikan mendalam, termasuk opsi Minyakita dijual di ritel modern dan lain sebagainya. Baru akan rencana,” ujarnya, akhir pekan lalu.

Dia pun belum dapat mengonfirmasi apakah Kemendag akan mengizinkan ritel modern untuk kembali menjual Minyakita. Meski demikian, dia tidak menampik opsi tersebut layak dipertimbangkan lantaran harga komoditas dapat lebih dikendalikan di ritel modern atau modern trade (MT), ketimbang pasar tradisional atau general trade (GT).

“Kita enggak tahu nanti. Ini kan baru beberapa opsi pembicaraan, salah satunya untuk menjaga harga. Biasanya yang bisa lebih menjaga harga itu di MT daripada GT. Sebab, di GT biasanya rantai pasoknya panjang, lebih panjang daripada MT. Kalau di MT, rantai pasoknya dari produsen, D1 atau langsung ke gerai. Gerai itu kan tidak dihitung sebagai channel [mata rantai pasook] lagi kan,” jelasnya. 

Dia memastikan, jika nantinya opsi memperbolehkan ritel modern untuk kembali menjual Minyakita ditempuh, pemerintah tetap akan mengizinkan produk tersebut dijual di pasar tradisional.

Gudang penyimpanan Minyakita PT Bina Karya Prima/BKP di Marunda, Jakarta, Selasa (7/2/2023). (Dok. Biro Humas Kemendag)

Harga Tak Sesuai HET 

Lebih lanjut, Isy mengakui harga Minyakita di sejumlah daerah –khususnya di wilayah Indonesia timur– belum sesuai HET. Secara nasional, harga agregat produk tersebut masih di atas HET, yaitu Rp15.039/liter. 

“Padahal seharusnya secara nasional itu Rp14.000/liter karena ada insentif regional dan insentif kemasan. Harusnya dengan adanya insentif regional, pengusaha yang mendistribusikan Minyakita ke Indonesia timur harganya tetap sama. Ternyata tidak bisa,” ujarnya. 

Di beberapa daerah, jelasnya, harga Minyakita bahkan menembus Rp17.000/liter, bahkan ada yang mencapai Rp18.000/liter. Dia menyebut harga tinggi tersebut ditemui di beberapa tempat, termasuk di Kabupaten Indragiri Hilir di Riau dan di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Isy menjelaskan harga Minyakita yang mahal di sejumlah daerah bukan dipicu oleh masalah distribusi, tetapi akibat aktivitas antarpedagang di pasar tradisional. 

“Ini tidak dapat dari agen, tapi dari lainnya. Jadi seharusnya dia menjual Rp14.000/liter, tetapi malah kemudian dia beli harganya saja sudah Rp14.000/liter, jadi harga akhir di konsumen naik lagi jadi Rp15.000/liter,’ tuturnya.

Bapanas sebelumnya menjelaskan diizinkannya ritel modern untuk kembali menjual Minyakita semata ditujukan untuk memangkas rantai pasok minyak goreng kemasan agar harga komoditas tersebut tetap stabil.

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan upaya menjaga stok dan harga Minyakita perlu dilakukan dengan memperluas distribusi di pasar ritel. Hal tersebut tidak terlepas dari tugas instansinya untuk membangun konektivitas pangan dengan menghubungkan hulu dan hilir.

Arief mengatakan kolaborasi pendistribusian Minyakita antara Food Station dengan Aprindo akan segera berjalan dan para peritel bisa meng-off take seluruh produksi Minyakita dari Food Station.

"Selain memperluas pendistribusian, langkah ini juga bisa memangkas rantai pasok pangan lebih pendek dan efektif. Apabila telah berjalan, saya minta keseimbangan harga Minyakita di Rp14.000 per liter bisa terus dijaga,” tuturnya, Jumat (12/5/2023).

Penjualan minyak goreng merek Minyakita di ritel modern sempat dilarang lantaran disinyalir menjadi salah satu penyebab lonjakan harga minyak goreng di Tanah Air yang terjadi belakangan ini.

Menurut Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga, keberadaan Minyakita di ritel modern membuat penyaluran minyak goreng menjadi tidak tepat sasaran. Pasalnya, banyak pengguna minyak goreng premium yang akhirnya beralih ke Minyakita karena lebih murah.

(wdh)

No more pages