Bloomberg Technoz, Jakarta - Direktur Utama TVRI Iman Brotoseno menyoroti adanya pergeseran pola konsumsi media masyarakat yang semakin beralih dari televisi konvensional ke platform digital. Menurut dia, perubahan ini menjadi tantangan bagi industri penyiaran untuk tetap bertahan.
Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR RI, di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/3/2025).
Mengutip dari data Nielsen di Amerika Serikat, Iman menyebut bahwa TV konvensional kini kalah dengan streaming online, yakni 23,7% berbanding 41,6%. Meski di Indonesia, lewat data terakhir yang dia terima pada 2022, televisi masih memiliki 56% pemirsa dibandingkan online. Namun, ia meyakini angka ini akan terus mengalami penurunan.
"Karena berdasarkan data itu selama 3 tahun terakhir, itu pola kepemirsaan di TV itu turun 7%. Ini kita lihat juga dari kebiasaan masyarakat untuk mendapatkan informasi gitu di TV itu hanya 48%, berbanding dengan online, sosial media itu 79%," jelas Iman dalam paparannya.
Meski demikian, Iman menegaskan bahwa televisi tidak akan mati, karena media sosial disebutnya tidak memproduksi konten, sementara televisi tetap berperan dalam menciptakan tayangan berkualitas.
"Jadi tantangan buat televisi adalah membuat konten yang bagus sehingga masyarakat bisa menonton. Jadi TV tetap membuat konten berbeda dengan sosial media," terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Iman juga menilai bahwa industri penyiaran di Indonesia masih terpaku pada sistem terestrial. Sementara di luar negeri, penyiaran telah berkembang ke berbagai platform digital, di mana menurutnya penyiaran telah menjadi bagian dari konvergensi media yang menyatukan komputer, komunikasi, dan konten dalam satu ekosistem.
Ia mencontohkan bahwa penyiaran modern tidak hanya mencakup TV dan radio, tetapi juga terintegrasi dengan layanan berbasis internet seperti streaming, musik, dan film.
"Jadi kalau kita melihat keluasan definisi penyiaran jadi, definisi penyiaran ini tidak lagi berpaku pada terestrial tapi juga ke platform lainnya, dan tetap saya lihat media layanan publik tetap berfungsi untuk menginformasi, mendidik dan menghibur," ungkapnya.
"Jadi kata kunci menghibur ini yang mungkin perlu nanti ditekankan karena bagaimanapun juga beberapa TV publik atau lembaga penyiaran publik di luar banyak sekali sudah melakukan inovasi dalam konten-konten hiburan karena masyarakat mau nggak mau menyukai hiburan," terangnya.
Berdasarkan data Nielsen yang dipaparkan Iman, dari 10 program TV paling diminati masyarakat Indonesia, mayoritas adalah sinetron dan drama. Iman menilai bahwa lembaga penyiaran publik harus mampu menciptakan konten hiburan yang tetap memiliki nilai edukasi.
Tantangan Pengembangan OTT dan Video On Demand
Iman juga membahas pentingnya platform Over The Top (OTT) dan Video On Demand (VoD) sebagai masa depan industri penyiaran. TVRI, menurutnya, harus masuk ke dalam ekosistem ini untuk menyediakan pilihan channel hiburan, informasi, serta menjadi agregator konten premium lokal.
Namun, investasi di sektor ini sangat mahal. Ia turut mencontohkan bahwa lembaga penyiaran publik di luar negeri, seperti BBC dengan iPlayer yang diluncurkan sejak 2007, telah lebih dulu berinvestasi dalam layanan OTT.
"Jadi menurut pengalaman kami hampir tidak mungkin kami bisa melakukan investasi di channel OTT Video On Demand karena sangat mahal dan melihat keterbatasan anggaran saat ini sumber dana lembaga penyiaran publik TVRI dari APBN dan hampir tidak mungkin untuk dialokasikan untuk mengembangkan OTT dan Video On Demand. Padahal kedepan ini menjadi salah satu kunci bagaimana televisi bisa berinovasi dan sekaligus survive di tengah persaingan-persaingan dengan platform-platform lainnya."
Dalam paparannya, Iman menyoroti model pembiayaan lembaga penyiaran publik di berbagai negara. Ia menyebut bahwa istilah "lembaga penyiaran publik" mulai bergeser menjadi Public Service Media (PSM), yang memiliki model pembiayaan lebih beragam.
Di beberapa negara, skema pembiayaan meliputi:
- Biaya Lisensi (BBC dan NHK) - NHK mendapatkan Rp70 triliun per tahun, sementara BBC Rp90 triliun.
- Pajak Alternatif - TRT Turki memperoleh dana dari pajak penjualan ponsel, sementara Thailand memanfaatkan pajak dari rokok dan alkohol.
- Pajak Media Langsung - Berlaku di beberapa negara Eropa.
- Subsidi Pemerintah - Seperti di China dan Indonesia, melalui APBN.
- Retribusi Rumah Tangga - Diterapkan di Jerman dan beberapa negara lainnya.
Iman menegaskan hal ini "bisa menjadi salah satu tambahan masukan untuk model pembiayaan selain APBN maupun model-model lainnya," tuturnya.
Saat ini, TVRI telah mengadopsi berbagai teknologi penyiaran, termasuk terestrial, satelit, dan jaringan berbasis internet (IP). Per 28 Februari 2025, cakupan populasi TVRI mencapai 73,82%, atau sekitar 201 juta penduduk. Namun, masih terdapat wilayah blank spot, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
TVRI saat ini memiliki sekitar 180 pemancar digital, sementara pemancar analog telah dimatikan seiring dengan kebijakan Analog Switch Off (ASO).
Iman juga menyoroti tantangan dalam pengelolaan sumber daya manusia di lembaga penyiaran publik. Terlebih, TVRI mengikuti regulasi kepegawaian pemerintah, di mana sebagian besar pegawai berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Namun, ia menilai dalam industri media yang dinamis, TVRI membutuhkan fleksibilitas dalam perekrutan tenaga profesional, terutama untuk bidang core business seperti produksi konten digital. Menurutnya, model kombinasi pegawai tetap dan kontrak telah diterapkan di berbagai lembaga penyiaran publik dunia, seperti BBC, NHK, dan IBC Malaysia.
"Jadi film director, producer, director fotografi, online editor, semuanya itu mungkin agak susah kalau kita harus mengacu kepada pola perekrutan ASN dari pemerintah. Jadi kita butuh dukungan penguatan lembaga untuk bisa melakukan fleksibilitas dalam pola perekrutan pegawai," terangnya.
Artificial Intelligence dalam Penyiaran Publik
Terakhir dalam paparannya, Iman menyoroti pentingnya memasukkan regulasi terkait Artificial Intelligence (AI) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Ia mengungkapkan TVRI telah mulai memanfaatkan AI dalam beberapa program.
Ia berharap RUU Penyiaran yang baru dapat memberikan keleluasaan bagi lembaga penyiaran publik dalam mengadopsi teknologi dan memperkuat daya saing di era digital.
(lav)