“Saya melihat bagaimana di negara-negara maju ada yang percaya bahwa kita begini-begini saja dan begitulah kita. Saya katakan tidak, tidak akan seperti itu,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan dalam sebuah wawancara.
“Kami ingin negara berkembang tidak hanya mengekspor bahan mentah. Harus ada nilai tambah bagi negara Anda dan rakyat Anda.”
Nikel adalah komoditas yang melambungkan Indonesia ke jajaran ekonomi berpenghasilan tinggi, dengan nilai ekspor logam melonjak sepuluh kali lipat dalam lima tahun setelah pemerintah memaksa dunia usaha untuk mengolahnya di dalam negari.
Saat ini, Indonesia yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini berencana untuk menggunakan cetak biru itu, dengan mengolah segala sesuatu mulai dari tembaga hingga ikan di dalam negeri, sambil mendesak negara lain untuk mengikutinya.
Negara tetangga Filipina, pemasok nikel terbesar kedua setelah Indonesia, memperhatikan hal ini dan mempertimbangkan pengenaan biaya ekspor, sementara Zimbabwe memberlakukan larangan ekspor litium untuk mendorong pemrosesan lokal.
Luhut membawa delegasi dari Kongo, pemasok kobalt teratas, ke Weda Bay Industrial Park di Indonesia bagian timur untuk menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh RI untuk mendapatkan lebih banyak nilai tambah dari nikel.
Model Ekonomi
Ini adalah langkah terbaru Jokowi untuk memposisikan dirinya menjadi suara dari negara-negara Global South, yaitu sekelompok negara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika—yang sebagian besar dijajah karena sumber daya alamnya.
Jokowi berjanji untuk menegakkan nasib negara berkembang ketika menjadi tuan rumah KTT G-20 tahun lalu, dengan menghindari model ekonomi yang ditetapkan oleh AS dan negara-negara Eropa.
“Kita tidak ingin negara lain memberi tahu kita apa yang harus kita lakukan,” kata Luhut di kantornya, Selasa.
Indonesia juga meningkatkan standar tenaga kerja dan lingkungan di smelter-smelter untuk memperluas daya tarik pasar nikelnya.
Pemerintah hanya mengizinkan untuk menggunakan bendungan tailing atau dry-stacking, dan tidak mengeluarkan izin untuk tailing laut dalam.
Pemerintah juga mengirimkan tim untuk mengunjungi setiap fasilitas di seluruh nusantara untuk memastikan mereka mematuhi aturan dan memberi peringatan untuk setiap pelanggaran yang ditemukan.
“Kita tidak akan ragu untuk menutupnya jika mereka tidak patuh setelah peringatan pertama,” kata Luhut.
(bbn)