Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah berpeluang melanjutkan kinerja gemilang pada awal pekan ini, di tengah lanskap pasar global yang memberi angin segar pada aset-aset di emerging market.

Indeks dolar Amerika Serikat (AS) pekan lalu mengalami pekan terburuknya sejak 2022, memicu bank investasi besar seperti JPMorgan berbalik 'bearish' untuk the greenback, menggarisbawahi perubahan rezim di pasar mata uang global pasca arah baru kebijakan fiskal Jerman.

Pelemahan indeks dolar AS bisa memberi ruang lebih besar bagi mata uang lawannya, termasuk rupiah, untuk melanjutkan penguatan.

Rupiah membukukan pekan gemilang minggu lalu dengan menjadi mata uang dengan penguatan terbesar di emerging Asia, menguat 1,75% di level Rp16.295/US$.

Penguatan itu didukung oleh kembalinya modal asing berbelanja di pasar keuangan domestik, dengan nilai net buy Rp8,99 triliun pada pekan pertama Maret. Asing terutama memborong Surat Berharga Negara, menurut laporan Bank Indonesia.

Pada ujung pekan lalu, dengan kemerosotan indeks dolar AS ke level terendah sejak awal November 2024 di posisi 103,83, rupiah offshore juga ditutup menguat 0,2% ke level Rp16.314/US$. 

Pada pembukaan pasar Asia Senin pagi ini, indeks dolar AS melanjutkan pelemahan, makin merosot di kisaran 103,71. Pelemahan indeks dolar AS memberi kesempatan bagi rupiah di pasar offshore lanjutkan penguatan dengan pagi ini bergerak di Rp16.290/US$.

Sementara di pasar valuta Asia, sebagian mata uang menguat dipimpin oleh yen Jepang yang naik nilainya 0,41%, won 0,16%, dolar Singapura 0.15% dan yuan offshore 0,07%. Sedangkan ringgit masih melemah bersama dolar Hong Kong masing-masing 0,07% dan 0,01%.

Risiko ekonomi AS

Arus berbalik di pasar global setelah beberapa data menunjukkan perekonomian AS menghadapi risiko perlambatan pertumbuhan. Ekonomi yang melambat akan memberi peluang lebih besar bagi bank sentral AS, Federal Reserve, untuk menggeber pelonggaran moneter lebih banyak.

Penangguhan kebijakan tarif Trump pada beberapa negara juga memberi sentimen positif bagi pasar global. Sentimen risk-on kembali menyala dan memicu arus beli kembali di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Di sisi lain, pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell pekan lalu yang mengatakan bahwa ia berekspektasi penurunan inflasi ke 2% akan berlanjut, menyiratkan risiko inflasi akibat kebijakan tarif mungkin sifatnya sementara. Pernyataan itu mengerek indeks saham di Wall Street namun melejitkan lagi yield Treasury di atas 4%.

Era 'bearish' dolar dimulai?

JPMorgan Chase & Co., menyarankan para investor untuk mulai menjual dolar AS di harga lebih lemah (short) menyusul perubahan kebijakan fiskal yang substansial Jerman terkait sektor pertahanan mereka, juga karena erosi perekonomian AS yang berlanjut.

Itu adalah posisi short dolar AS JPMorgan kali pertama dalam lebih dari setahun terakhir.

"Pekan ini menandai pergeseran rezim di pasar valuta, begitu juga rezim dalam portfolio kami. Kami kini merekomendasikan investor untuk melakukan short [outright-short] dolar AS, dari tadinya menetralkan posisi long pekan lalu," kata tim ahli strategi JPMorgan yang dipimpin oleh Meera Chandan dalam catatannya hari Jumat, dilansir dari Bloomberg News.

Para analis menyoroti perkembangan ekonomi AS. "[Mungkin] terlalu dini untuk menyebutkan resesi, tetapi keistimewaan AS yang menurun seharusnya tidak perlu diragukan lagi. Perubahan haluan dalam kebijakan fiskal Jerman adalah 'game changer' dan membuka prospek Eropa mengejar pertumbuhan AS untuk pertama kali dalam beberapa tahun ini," jelas para ahli strategi JPMorgan.

Risiko fiskal RI

Walau lanskap global memberikan peluang lebih baik bagi rupiah, mata uang Indonesia ini belum sepenuhnya terbebas dari sentimen yang membebani.

Kali ini sentimen negatif datang dari dalam negeri. Spekulasi yang menguat terkait kondisi keuangan negara terkini, sejurus dengan masih belum dirilisnya informasi terbaru APBNKita untuk edisi Januari, sepertinya akan membuat para investor masih menahan diri untuk berbelanja lebih banyak di tengah pelebaran selisih imbal hasil investasi dengan surat utang AS.

Dua lembaga asing berpengaruh, Goldman Sachs dan sayap riset Fitch Solutions yaitu BMI, telah mengeluarkan prediksi baru terkait prospek defisit fiskal APBN 2025 yang diperkirakan melebar hingga menyentuh 2,9% hingga ke batas atas 3%.

Pelebaran defisit fiskal hingga ke batas yang diizinkan Undang-Undang itu, adalah karena besarnya nilai pengeluaran untuk mendukung berbagai program ambisius nan populis Presiden Prabowo Subianto di tengah ketiadaan rencana konkret mengerek penerimaan.

Alih-alih, penerimaan dikhawatirkan turun setelah pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), juga terimbas kelesuan aktivitas ekonomi, juga masalah pencatatan sistem pajak baru Coretax yang banyak dikeluhkan.

Goldman mempertahankan outlook bearish untuk rupiah karena kekhawatiran fiskal, ditambah faktor musiman pembayaran dividen korporasi mulai akhir Maret sampai April nanti, yang biasanya memicu arus keluar modal asing lebih banyak dari Indonesia hingga menekan rupiah.

Analisis teknikal

Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren penguatan di zona hijau, menuju area Rp16.280/US$ terdekat tembus MA-50 sampai Rp16.240/US$. Cermati resistance potensial rupiah pada Rp16.200/US$.

Sementara trendline sebelumnya pada time frame daily menjadi support psikologis potensial di level Rp16.310/US$. Kemudian, target pelemahan lanjutan untuk kembali ke level Rp16.350/US$.

Mencermati tren perdagangan sepekan ke depan, selama rupiah bertengger di atas Rp16.200/US$ usai keberhasilan menguat, maka masih ada potensi untuk lanjut menguat hingga Rp16.100/US$.

Sebaliknya apabila terjadi pelemahan di Rp16.350/US$ dalam tren jangka menengah (Mid-term), maka rupiah berpotensi terus melemah dan uji support hingga Rp16.400/US$.

Analisis Teknikal Nilai Rupiah Senin 10 Maret 2025 (Riset Bloomberg Technoz)

(rui)

No more pages