Secara resmi, Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyasanti telah menepis dugaan deflasi tahunan yang langka terjadi itu terkait pelemahan daya beli masyarakat. Menurutnya, indikator komponen inti yang menjadi salah satu gambaran permintaan dalam ekonomi masih mencatat kenaikan alias inflasi. Angkanya 2,48% dibanding Februari 2024.
Deflasi Februari menurut Amalia adalah karena kebijakan diskon tarif listrik hingga 50% yang diberlakukan Pemerintah RI pada Januari dan Februari.
Kebijakan itu berdampak pada deflasi kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, sebesar 3,59% mom dan 12,08% yoy. Andil terhadap deflasi tahunan kelompok ini mencapai 1,92%.
Inflasi Ramadan
Selain kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, ada satu kelompok lagi yang juga mencatat deflasi pada Februari. Yakni, kelompok informasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan, yang mencatat deflasi 0,26% yoy.

Di luar dua kelompok itu, inflasi masih terjadi pada Februari. Terutama pada kelompok makanan, minuman dan tembakau yang mencatat inflasi hingga 2,25% yoy pada bulan lalu. Namun, secara bulanan terjadi deflasi 0,40%.
Komoditas yang tercatat naik harga di antaranya minyak goreng 0,13%, cabai rawit dan kopi bubuk 0,11% juga ikan segar 0,10% serta bawang putih 0,05%.
Inflasi tertinggi selanjutnya adalah adalah kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya, sebesar 8,43% yoy. Subkelompok Perawatan Pribadi melompat naik 23,58%. Penyumbang inflasi terbesar di kelompok ini adalah emas perhiasan sebesar 0,42% yoy.
Beberapa barang yang juga masuk dalam kelompok ini merupakan barang-barang yang banyak dibutuhkan oleh rumah tangga seperti sabun mandi, sabun wajah, pasta gigi, deodoran, shampoo, tisu, popok bayi, pembalut wanita dan barang-barang yang biasa disebut fast moving consumer goods (FMCG) ini. Produk skincare atau perawatan kulit, juga make up, termasuk pula dalam kategori ini.
Sedangkan kelompok pendidikan, mencatat inflasi sebesar 2,04% yoy. Disusul oleh inflasi kelompok pakaian dan alas kaki 1,18% yoy terutama inflasi pakaian 1,27% dan alas kaki 0,86%.
Melihat data tersebut, inflasi Ramadan tahun ini bisa dibilang sudah dimulai dan kemungkinan akan memuncak pada Maret ketika diskon tarif listrik sudah berakhir dan belanja masyarakat meningkat jelang Idul Fitri yang jatuh pada akhir bulan.
Daya Beli Memang Lesu
Lantas, bagaimana dengan masalah daya beli masyarakat yang disebut menghadapi tekanan sekian lama? Data yang muncul dari Survei Penjualan Ritel dan Survei Konsumen mungkin bisa menjadi gambarannya. Begitu juga bila mencermati pergerakan harga saham-saham konsumer di Bursa Efek Indonesia.
Indeks yang mengukur kelompok saham nonsiklikal, yang berisi saham seperti Alfamart (AMRT), Indofood (INDF dan ICBP, Mayora (MYOR), Unilever (UNVR), Sari Roti (ROTI), Ultrajaya (ULTJ), juga emiten rokok (HMSP, GGRM, WIIM), dan lain-lain, mencatat return negatif selama dua tahun terakhir, sebesar -10,81%, seperti dilansir dari Bloomberg.
Menurut data yang dilansir Bank Indonesia, penjualan ritel pada Februari kemungkinan masih akan lesu. Hal itu terindikasi dari Indeks Ekspektasi Penjualan Ritel untuk Februari sebesar 127,7, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya.

Sementara pada Januari, penjualan eceran riil terkontraksi dibanding bulan sebelumnya, yaitu hingga -4,8% mom dan secara tahunan cuma naik 0,4% yoy, melambat dibanding Desember. Sektor yang terkontraksi pada awal tahun di antaranya peralatan rumah tangga dan barang lainnya. Sementara sektor di luar itu mayoritas masih tumbuh positif tapi melambat dibanding bulan sebelumnya, juga dibanding Januari 2024.
Penjualan ritel diperkirakan baru akan bangkit pada Maret ini karena perayaan Idul Fitri. Indeks Ekspektasi Penjualan Ritel pada Maret naik tinggi ke 154,4.
Berkaca ke belakang, pada Idulfitri 2024, penjualan ritel sebulan sebelum Lebaran datang, melesat tumbuh 9,3% yoy. Begitu juga pada 2023, ketika penjualan eceran tumbuh 4,9% pada bulan sebelum Idulfitri dirayakan.
Namun, setelah lebaran berlalu, penjualan ritel terperosok lagi karena ketiadaan faktor musiman, yang menegaskan terjadinya stagnasi sekuler perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi makin bergantung pada faktor musiman akibat absennya sumber pertumbuhan baru.
Bahkan pada musim libur Natal dan Tahun Baru yang bersamaan dengan libur anak sekolah pada Desember lalu, penjualan ritel hanya naik 1,8% yoy.
Di sisi lain, hasil survei Konsumen terakhir juga menggambarkan situasi penuh tantangan rumah tangga di Tanah Air. Kondisi ekonomi saat ini dinilai lebih buruk dibandingkan enam bulan lalu akibat penghasilan yang menurun ketika kesulitan mencari pekerjaan. Tingkat keyakinan konsumen pada Januari turun walau masih di mode optimistis di atas 100.

Yang perlu dicermati, kondisi keuangan masyarakat Indonesia pada awal tahun ini juga disinyalir mengalami tekanan, terindikasi dari perkembangan proporsi pengeluaran.
Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) turun pada Januari, ke level terendah dalam enam bulan atau sejak Agustus 2024. Pada saat yang sama, rasio tabungan juga turun ke level terendah dalam tiga bulan.
Adapun rasio utang (debt to income ratio) yang mencerminkan nilai pendapatan masyarakat yang digunakan untuk membayar cicilan utang, menyentuh 11,1%. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak Februari 2021, di kala perekonomian diterjang pandemi Covid-19.
(rui/aji)