Dia melanjutkan, harga obat juga mahal bukan hanya karena pajak obat namun juga masih adanya industri farmasi yang masih nakal.
“Saya kan bankir bisa lihat perbedaan obat di Indonesia dan di Malaysia contohnya. Kalau bedanya 30-40% masalah pajak make sense kalo bedanya 3 kali sampai 4 kali atau 300%-400% sudah pasti bukan pajak. Kalau dilacak namanya marketing and educating expenses ya teman-teman lebih tahulah maksud saya apa,” ujarnya.
Budi karena itu menyebutkan bahwa adanya masalah pelaku industri farmasi yang nakal nantinya akan dibereskan oleh pemerintah. Hal itu juga ada dalam RUU Kesehatan yang saat ini tengah dibahas DPR dan pemerintah.
“Mungkin untuk beberapa orang tidak merasa nyaman karena perubahan terjadi bicara aja kan kita kaum intelektual pasti kok saya kasih waktu bicara,” katanya.
Diketahui bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law saat ini masih berada di DPR. Ada sejumlah poin krusial dalam RUU tersebut termasuk soal industri farmasi dalam negeri. Salah satunya adalah soal kemandirian nasional di sektor industri kesehatan.
Hal ini diterakan dalam pasal sebagai berikut:
a. Pasal 343, Pasal 346 tentang memfasilitasi infrastruktur, suprastruktur, SDM, anggaran, regulasi dan kemudahan perizinan untuk riset dan transfer teknologi farmasi dan alat kesehatan
b. Pasal 343-Pasal 344 tentang prioritas penggunaan bahan baku dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan domestik
c. Pssal 343 dan Pasal 348 tentang insentif fiskal dan nonfiskal kepada industri untuk melakukan penelitian, pengembangan dan produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan dengan menggunakan bahan baku dalam negeri.
"Mengenai transformasi sistem pelayanan kesehatan infustri farmasi, industri alat kesehatan dan industri vaksin di Indonesia makin lama makin tertinggal dibandingkan negara-negara lain even dengan Thailand dan Vietnam yang akhir-akhir ini mulai maju. Jadi kita menyadari pemerintah perlu mendukung pengembangan industri kesehatan dalam negeri," kata Budi Gunadi di depan Komisi IX DPR (6/4/2023).
(krz/ezr)