Harga beberapa komoditas pangan juga turun seperti beras, tomat juga cabai merah, sejurus dengan kedatangan musim panen mulai Februari hingga April nanti. Secara bulanan, kelompok makanan dan minuman serta tembakau terdeflasi 3,59%.
Namun, secara tahunan, kelompok ini masih inflasi 2,25% akibat lonjakan harga minyak goreng 0,13%, cabai rawit dan kopi bubuk 0,11% juga ikan segar 0,10% serta bawang putih 0,05%.
Di sisi lain, di tengah torehan deflasi pertama dalam dua dekade itu, inflasi inti yang tidak menghitung harga pangan bergejolak dan harga bahan bakar, masih melanjutkan kenaikan menjadi 2,48% pada bulan lalu. Kenaikan terutama karena lonjakan harga emas perhiasan dan minyak goreng.
Deflasi yang pertama kali terjadi dalam lebih dari dua dekade terakhir di Indonesia itu, seharusnya memberikan ruang lebih besar bagi Bank Indonesia untuk melanjutkan lagi pemangkasan bunga acuan.
Namun, dengan rupiah yang masih rawan oleh tekanan eksternal di mana pekan lalu mata uang ini hampir menjebol level terlemah baru sepanjang masa, sebagian analis skeptis BI akan mengambil langkah tersebut.
Di sisi lain, deflasi yang berlanjut bahkan pada bulan menjelang Ramadan yang dimulai pada 1 Maret itu, memantik pertanyaan apakah hal tersebut mengindikasikan kelesuan daya beli.
"Dalam pandangan kami, BI sepertinya tidak akan memakai data ini untuk menjustifikasi keputusan pemangkasan bunga acuan dalam waktu dekat. Waktu pemangkasan BI rate akan ditentukan oleh pergerakan rupiah ketimbang fundamental inflasi harga seperti dikatakan Gubernur Perry," kata tim analis Mega Capital Sekuritas dalam catatannya.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson memandang hal serupa.
"Deflasi tahunan yang jarang terjadi itu tidak akan membuat BI takut karena penurunan karena diskon sementara tarif listrik, bukan karena penurunan permintaan. BI mungkin sudah memperhitungkan itu dan lebih fokus pada inflasi inti. Kami perkirakan peluang menahan BI Rate lebih besar ketimbang menurunkannya," kata Henderson.
Di sisi lain, data aktivitas manufaktur terbaru menunjukkan terjadi peningkatan momentum ekonomi, bukan permintaan yang lesu.
"Jika ditimbang secara keseluruhan, itu menunjukkan bahwa penetapan kebijakan moneter pada Maret akan lebih bergantung pada kinerja rupiah yang sejauh ini lebih buruk dibanding valuta Asia lain," kata Henderson.
Rupiah pada perdagangan spot mengawali pekan ini, bangkit dari keterpurukan dengan menguat 0,6% di level Rp16.480/US$, setelah sempat menyentuh Rp16.592/US$ pada perdagangan pekan lalu.
Kinerja rupiah masih yang terburuk di Asia sepanjang tahun ini dengan pelemahan mencapai 2,29% akibat arus keluar modal asing yang cukup besar terutam dari pasar saham.
Mengacu data Bloomberg, modal asing yang hengkang dari pasar saham sampai perdagangan Jumat telah mencapai US$ 1,33 miliar atau sekitar Rp22,21 triliun. Sementara kepemilikan asing di surat utang negara merosot sebesar Rp4,44 triliun dibandingkan posisi akhir tahun lalu.
Acuan Tak Jelas
Pada Rapat Dewan Gubernur bulan Februari, BI mempertahankan bunga acuan di tengah cukup banyak ekspektasi pemangkasan menilik inflasi yang telah rendah dan rupiah yang relatif stabil, juga pelemahan indeks dolar AS lebih dari 2%.
Dalam penjelasannya, Gubernur Perry menegaskan lagi fokus bank sentral pada rupiah, berkebalikan dengan pernyataannya pada RDG bulan Januari ketika memangkas bunga acuan. Kala itu, Perry menyatakan stance kebijakan BI bergeser menjadi pertumbuhan ekonomi.
Keputusan pada Januari itu sangat mengejutkan pasar karena ditempuh ketika kinerja rupiah lebih jelek akibat tekanan strong dollar di pasar global.
Menurut pandangan sebagian pelaku pasar, perbedaan keputusan bunga acuan pada dua bulan pertama tahun 2025 itu, yang dinilai berkebalikan dengan indikator-indikator pada latar belakang, telah memicu ketidakpastian terkait dogma, data dan aturan apa yang menjadi acuan Gubernur Perry dalam mengambil keputusan moneter.
"Prediksi kami sekarang, kuncinya adalah BI akan menahan BI Rate di 5,75%. Itu dengan menyadari, di tengah kondisi ketiadaan panduan ke depan yang jelas dari BI, peluang penurunan bunga acuan atau bahkan kenaikan BI rate lagi tetap mungkin terjadi bila tingkat imbal hasil global menuju arah tertentu," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas dalam catatannya.
(rui/aji)

































